This awesome blogger theme comes under a Creative Commons license. They are free of charge to use as a theme for your blog and you can make changes to the templates to suit your needs.
RSS

Rambu Solo`: Gerbang Menuju Alam Baka

MANUSIA DAN PANDANGAN HIDUP



14/05/2005 13:44
Liputan6.com, Tana Toraja: Suatu hari di dataran tinggi Tanah Toraja. Saat itu, malam kian kelam ketika rembulan memancarkan pantulan cahayanya. Di sekeliling halamanTongkonan atau rumah adat Tana Toraja terlihat sanak saudara dan para keluarga mendiang Ne Ne Lai Sumule berkumpul menandai dimulainya pembukaan ritual pemakaman adat Toraja. Suasana pun menjadi sakral ketika mereka bersama-sama melantunkan syair kesedihan dalam tarian Mabadong. Tarian ini menyimbolkan ratapan kesedihan mengingat jasa mendiang semasa hidupnya serta sebagai ungkapan dukacita bagi orang-orang yang ditinggalkannya.


Adapun, orang Toraja meyakini, seorang bangsawan akan mendapatkan tempat yang terhormat dalam strata sosial masyarakat. Mereka selalu menjunjung tinggi orang yang berstatus bangsawan untuk dihormati serta dicintai layaknya seorang raja. Pandangan semacam inilah yang acap ditemui di dalam masyarakat adat Toraja hingga sekarang.


Tana Toraja di Sulawesi Selatan adalah daerah yang indah. Wilayah kabupaten ini didominasi dataran tinggi. Hamparan pegunungan dan perbukitan pun seolah menjadi saksi bisu asal muasal kehidupan manusia di sana. Di kaki pegunungan Kandora, misalnya. Di sinilah beragam kisah dan legenda mengiringi munculnya masyarakat Toraja.


Syahdan, sekitar 15 abad lampau, sekumpulan imigran dari Teluk Tongkin, daratan Cina, berlabuh di kawasan pegunungan sebelah barat Sulsel. Para imigran asal Indo Cina ini akhirnya memilih menetap dan membaur dengan penduduk asli di pedalaman. Akulturasi atau percampuran budaya mereka inilah yang kemudian sering disebut kebudayaan Toraja.


Dalam bahasa Bugis Sindendereng, Toraja diartikan sebagai orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan. Namun masyarakat Toraja menyebut dirinya sebagai orang maraya atau keturunan bangsawan. To artinya tau atau orang, Raya dari kata maraya yang berarti besar.


Legenda Toraja pun mengisahkan, pegunungan Kandora merupakan tempat keturunan bangsawan bernama Puang Sawerigading bernaung. Di kaki gunung ini pula istri Puang Sawerigading bernama Puang Pindakati bersemayam. Secara turun-temurun mereka bermukim dan berkuasa di wilayah Tengan atau sekarang dikenal dengan sebutan Mengkendek--Kecamatan Mengkendek.


Kala itu, penduduk Toraja masih menganut kepercayaan animisme, yakni Aluk Tadolo. Mereka mempercayai adanya kehidupan yang kekal setelah kematian. Lantaran itulah, mereka tidak mengenal konsep surga maupun neraka dalam ajaran hidupnya. Kendati demikian, orang Toraja percaya bahwa alam baka merupakan persinggahan terakhir di dalam fase kehidupan yang kekal.


Zaman pun berganti. Ada yang tak berubah, salah satunya adalah pematang sawah masih menghampar luas di bawah kaki Gunung Kandora. Memang, sejak berabad-abad lampau, daerah nan subur ini menjadi tumpuan masyarakat Toraja yang berada di daerah Makale. Seperti kehidupan masyarakat pedesaan pada umumnya, sebagian besar masyarakat Toraja menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian dan beternak kerbau.


Tak mengherankan, bila di Tana Toraja banyak dijumpai rumah yang menyerupai perahu Cina biasa disebut Tongkonan. Rumah adat ini dilengkapi dengan lumbung tempat menyimpan padi sekaligus sebagai lambang kebesaran dan kesejahteraan masyarakat Toraja.


Dulu, Tongkonan juga berfungsi sebagai pusat pemerintahan dan kegiatan sosial. Lantaran itulah jarang sekali rumah adat Tongkonan dimiliki secara perseorangan. Namun harus dimiliki secara bersama dan turun-menurun. Selain bentuknya yang menyerupai perahu Cina, setiap panel depan rumah terpasang untaian tanduk kerbau yang melambangkan status sosial dan kebangsawanan bagi penghuninya.


Status kebangsawanan orang Toraja mudah dikenali, terutama saat mereka melakukan ritual pemakaman orang yang meninggal dunia. Berbeda dengan masyarakat biasa, para bangsawan suku Toraja jika meninggal dunia jenazahnya diawetkan terlebih dahulu sebelum dikuburkan. Ciri lainnya, jenazah bangsawan biasanya dimakamkan di atas tebing maupun gua-gua di wilayah Tana Toraja beserta harta benda kesukaan mereka.


Umumnya, harta benda kesukaan mendiang dimasukkan dalam peti bersama jenazah sebelum dimakamkan. Menurut penghulu adat Marten Ruruk, barang-barang ini diyakini menjadi bekal atau perkakas ke alam baka. Kebiasaan ini banyak dijumpai di kawasan Tebing Londa, Kecamatan Sangala, Tana Toraja. Di sana ada sekitar puluhan jenazah dikubur bersama hartanya di dalam gua.


Sejak dahulu kala hingga sekarang, orang Toraja memang mewarisi kebudayaan megalit atau zaman batu. Pewarisan nilai sejarah tersebut dapat terlihat di dalam setiap upacara pemakaman para bangsawan. Ini menandakan tradisi kebudayaan purbakala memang melekat erat dalam adat istiadat masyarakat Tana Toraja. Peninggalan masa megalit atau megalitikum. Tengok saja batu-batu menhir setinggi tiga meter yang berada di sana. Orang Toraja menyebutnya sebagai simbuang batu.


Dalam ritual pemakaman, simbuang batu berfungsi sebagai tempat mengikat kerbau yang akan dikurbankan dalam upacara. Konon, batu menhir ini ditancapkan pertama kali tahun 1657. Ketika itu ratusan ekor kerbau dikurbankan untuk upacara pemakaman Dinasti Rante Kalimbuang.


Kini, zaman telah berubah, seiring munculnya agama-agama Samawi yang mengubah keyakinan agama orang Toraja. Kendati begitu, tradisi dan budaya leluhur mereka masih dipegang erat. Tradisi leluhur inilah yang kemudian menjadi perekat kekerabatan masyarakat Toraja akan tanah kelahiran nenek moyang mereka.


Saat prosesi pemakaman adat Toraja yang dinamakan upacara Rambu Solo`, misalnya. Boleh dibilang, Rambu Solo` adalah ritual yang sangat panjang dan melelahkan. Sebab kematian bukanlah akhir dari segala risalah hidup. Maka, suatu kewajiban bagi keluarga untuk merayakan pesta terakhir sebagai bentuk penghormatan kepada arwah yang akan menuju ke alam puya atau alam baka.


Biasanya pesta kematian berjalan hingga berhari-hari. Tak sedikit pula biaya yang harus dikeluarkan pihak keluarga untuk membiayai jalannya prosesi Rambu Solo`. Selama itu, jenazah disemayamkan dalam peti rumah duka.


Walau secara medis seseorang telah dianggap meninggal dunia, berdasarkan adat istiadat Toraja, orang yang mati dianggap sedang tidur selama keluarga belum menjalankan upacara Rambu Solo`. Contohnya mendiang Ne Ne Lai Sumule. Dia meninggal sejak enam bulan silam. Namun secara adat ia masih diperlakukan layaknya orang yang menderita sakit.


Kini, malam semakin larut. Ritual demi ritual pun telah dijalankan. Sekarang saatnya pihak keluarga melangsungkan ritual Ma`tundan atau membangunkan arwah. Seiring dimulainya Ma`tundan, suasana duka kembali tergurat di wajah sanak saudara dan orang-orang terdekat dari mendiang. Air mata pun jatuh bercucuran sebagai wujud orang yang mereka cintai bakal pergi selamanya.


Dan, hari ini, status sosial kebangsawanan itu terlihat pada bagian upacara Rambu Solo` atas kematian Ne Ne Lai Sumule. Padi yang tersimpan dalam lumbung tengah dipersiapkan untuk ditumbuk. Ritual tumbuk padi biasa dilakukan kaum wanita yang sudah tua yang memiliki kemahiran memainkan lesung dan bambu.


Bunyi-bunyian lesung dan bambu tersebut dilakukan bersamaan dengan prosesi pemindahan jasad Ne Ne Lai Sumule dari rumah duka untuk disinggahkan ke rumah adat Tongkonan untuk disemayamkan selama satu malam.


Maka, sanak saudara dan keluarga bahu-membahu mengangkat peti jenazah yang beratnya mencapai 100 kilogram untuk dinaikkan ke dalam rumah adat. Menurut adat Toraja prosesi ini melambangkan penyatuan kembali jenazah dengan para leluhurnya. Di dalam rumah adat, peti berisi jasad Ne Ne Lai itu harus dijaga semalam suntuk oleh sanak keluarga.


Hari pun berganti, kini saatnya melanjutkan prosesi pemindahan peti jenazah. Panas terik matahari pun tak mengurangi warga sekitar untuk menghormati Ne Ne Lai Sumule. Mereka telah berkumpul di lumbung rumah adat untuk melanjutkan prosesi pemindahan peti jenazah dari rumah adat ke lumbung padi.


Maka tarian penghormatan pun dilakukan. Kain merah dibentangkan sebagai lambang kebesaran suku Toraja. Sanak saudara dan warga bahu-membahu mengantarkan peti jenazah ke bawah lumbung.


Ketika peti mati diturunkan, sorak-sorai bergema di antara penduduk. Warga mencoba mengatasi beban berat yang bertumpu di atas pundak mereka. Kain merah atau lamba-lamba ini dibentangkan sebagai simbol jalan yang harus dilalui jenazah.


Akhirnya, sampailah peti jenazah di lumbung yang letaknya tepat di bawah rumah adat. Dalam keyakinan masyarakat Toraja, peletakan jasad ke dalam lumbung selama tiga malam itu menandakan jasad mendiang telah menuju pada fase kematian yang sebenarnya.(ANS/Tim Potret)

Kesimpulan:

Setiap manusia mempunyai pandangan hidup. Pandangan hidup itu bersifat kodrati. Karena itu ia menentukan masa depan seseorang. Untuk itu perlu dijelaskan pula apa arti pandangan hidup. Pendapat hidup artinya pendapat atau pertimbangan yang dijadikan pegangan,pedoman,arahan,petunjuk hidup didunia. Pendapat atau pertimbangan itu merupakan hasil pemikiran manusia berdasarkan pengalaman sejarah menurut waktu dan tempat hidupnya.


Sumber:

http://berita.liputan6.com/progsus/200505/101475/rambu_solo_gerbang_menuju_alam_baka

0 komentar:

Posting Komentar