Pendidikan di Mata Masyarakat Perkotaan dan Pedesaan
Pendidikan bukan makanan asing bagi masyarakat. Tingkatan pendidikan formal yang sering terdengar di telinga masyarakat mulai dari playgroup hingga jenjang perguruan tinggi. Tidak hanya pendidikan formal, pendidikan informal seperti modeling, teater, sekolah sepak bola, juga mulai menjamur di masyarakat. Keanekaragaman pendidikan ditawarkan kepada masyarakat, tinggal mana yang tepat untuk masa depan anak-anak.
Pola pikir akan pendidikan antara masyarakat perkotaan dengan pegunungan jelas berbeda. Hal ini diperkuat dengan kondisi geografis antar keduanya. Di perkotaan yang cenderung berada di dataran rendah sedangkan pegunungan umumnya di daerah dataran tinggi. Perbedaan geografis ini berpengaruh terhadap kecenderungan orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang yang lebih tinggi.
Sebagai contoh Kota Salatiga, kota kecil dihimpit dua kota besar di Indonesia, Semarang dan Solo. Salatiga terletak didaerah dataran rendah ditengah Pegunungan Merbabu dan Telomoyo, Jawa Tengah. Mempunyai lebih dari 2 playgroup, 10 taman kanak-kanak, 15 sekolah dasar, 10 sekolah menengah pertama, 3 sekolah menengah atas, 3 sekolah menengah kejuruan, beberapa madrasah tsanawiyah (setingkat dengan smp) dan madrasah aliyah (setingkat sma), 3 perguruan tinggi baik negeri maupun swasta.
Sedangkan di Desa Nogosaren, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang yang secara geografis terletak di daerah dataran tinggi, tepat di bawah pemancar yang ada di puncak Gunung Telomoyo. Desa ini hanya memiliki 1 taman kanak-kanak dan 1 sekolah dasar. Kecamatan Getasan sendiri terdapat kurang lebih 15 Desa.
Melihat deskripsi wilayah dari kedua wilayah yang berbeda di atas tampak terlihat dari segi kuantitas wadah pendidikan. Kecenderungan ini merupakan salah satu penyebab kurangnya minat akan pendidikan di daerah Desa Nogosaren. Penyebab lain juga terlihat dari segi geografis lingkungan tempat tinggal, Desa Nogosaren yang cenderung memiliki topografi curam berlembah sedangkan di Salatiga dengan topografi yang cenderung datar. Kondisi topografi bisa menjadi faktor yang bisa mempengaruhi pendidikan. Untuk menuju Sekolah Dasar Nogosaren, anak-anak harus menempuh perjalanan hampir 3 km dengan kondisi jalan yang curam dan naik turun. Sampai di sekolah anak-anak terlihat lesu dan kelelahan karena menempuh perjalanan cukup jauh dan berliku, sehingga materi pelajaran kurang bisa diserap secara maksimal oleh siswa-siswi. Masyarakat di Desa Nogosaren sendiri rata-rata memiliki riwayat pendidikan SD hingga SMP. Di Dusun Karang Bawang Desa Nogosaren sendiri hanya ada 1 anak yang masih aktif duduk di bangku SMK, dari 8 anak yang seharusnya duduk di bangku sekolah menengah atas, dan ada 1 yang pernah mengalami menjadi mahasiswa namun berhenti dengan alasan ekonomi dan keluarga ( Darno, Kadus Karang Bawang Desa Nogosaren).
Jika dilihat dari mata pencaharian masyarakat Salatiga dan Nogosaren sendiri terdapat suatu perbedaan yang memungkinkan adanya pengaruh terhadap pola pikir masyarakat akan pentingnya pendidikan. Di Salatiga sendiri cenderung memiliki pekerjaan yang beragam, dari wiraswasta, karyawan, pegawai, peternakan, sampai ke pertanian ditekuni masyarakat. Dari sini memperlihatkan arus likuiditas keuangan sangat cepat terjadi. Banyaknya wadah lembaga keuangan seperti bank, koperasi, pegadaian memungkinkan masyarakat untuk melakukan pinjaman berjangka guna memenuhi pendidikan bagi putra-putrinya. Lingkungan juga merupakan salah satu unsur yang tidak bisa dipungkiri terkait dengan pendidikan. Masyarakat kota yang setiap hari melihat kapitalis antar sesama, persaingan dalam memenuhi kebutuhan, sehingga muncul pemikiran untuk menekankan pendidikan sebagai hal utama bagi putra-putrinya.
Lain dengan di Desa Nogosaren, dimana mayoritas mata pencaharian masyarakat adalah peternak sapi perah dan selain itu dengan bertani di ladang. Rata-rata di tiap kepala keluarga memiliki dua sampai enam sapi. Sangat menggiurkan jika setiap panen susu dengan tiga sapi bisa mencapai 30-40 liter per hari, dengan harga 2600 rupiah per liternya (Darno, Kadus Karang Bawang Desa Nogosaren). Sungguh nilai yang tidak sedikit jika diakumulasikan selama satu bulan, hampir 2,5 juta rupiah didapatkan dari hasil penjualan susu tersebut. Nilai yang sebanding dengan masyarakat perkotaan yang kesehariannya sebagai karyawan. Meskipun aspek financial yang mencukupi tidak membuat masyarakat Nogosaren terutama di Dusun Karang Bawang untuk menyekolahkan putra-putrinya ke jenjang yang lebih tinggi. Pemikiran tradisional masih melekat di benak khalayak warga, dimana pendidikan tinggi belum tentu akan membawa dampak positif bagi keluarga toh akhirnya akan kembali juga menjadi peternak sapi perah (Darno, Kadus Karang Bawang Desa Nogosaren).
Solusi
Dalam masyarakat modern, sering dibedakan antara masyarakat pedesaan (rural community) dan masyarakat perkotaan (urban community). Menurut Soekanto (1994), per-bedaan tersebut sebenarnya tidak mempunyai hubungan dengan pengertian masyarakat sederhana, karena dalam masyarakat modern, betapa pun kecilnya suatu desa, pasti ada pengaruh-pengaruh dari kota.
Perbedaan masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan, pada hakekatnya bersifat gradual.
Kita dapat membedakan antara masya-rakat desa dan masyarakat kota yang masing-masing punya karakteristik tersendiri. Masing-masing punya sistem yang mandiri, dengan fungsi-fungsi sosial, struktur serta proses-proses sosial yang sangat berbeda, bahkan kadang-kadang dikatakan “berlawanan” pula. Perbedaan ciri antara kedua sistem tersebut dapat diungkapkan secara singkat menurut Poplin (1972) sebagai berikut:
Masyarakat Pedesaan
1).Perilaku homogen
2).Perilaku yang dilandasi oleh konsep kekeluargaan dan kebersamaan
3).Perilaku yang berorientasi pada tradisi dan status .
4).Isolasi sosial, sehingga statik
5).Kesatuan dan keutuhan kultural
6).Banyak ritual dan nilai-nilai sakral
7). Kolektivisme
Masyarakat Kota:
1). Perilaku heterogen
2).Perilaku yang dilandasi oleh konsep pengandalan diri dan kelembagaan
3).Perilaku yang berorientasi pada rasionalitas dan fungsi
4).Mobilitassosial,sehingga dinamik
5).Kebauran dan diversifikasi kultural
6).Birokrasi fungsional dan nilai-nilaisekular
7).Individualisme
Warga suatu masyarakat pedesaan mempunyai hubungan yang lebih erat dan lebih mendalam ketimbang hubungan mereka dengan warga masyarakat pedesaan lainnya. Sistem kehidupan biasanya berkelompok atas dasar sistem kekeluargaan (Soekanto, 1994). Selanjutnya Pudjiwati (1985), menjelaskan ciri-ciri relasi sosial yang ada di desa itu, adalah pertama-tama, hubungan kekerabatan. Sistem kekerabatan dan kelompok kekerabatan masih memegang peranan penting. Penduduk masyarakat pedesaan pada umumnya hidup dari pertanian, walaupun terlihat adanya tukang kayu, tukang genteng dan bata, tukang membuat gula, akan tetapi inti pekerjaan penduduk adalah pertanian. Pekerjaan-pekerjaan di samping pertanian, hanya merupakan pekerjaan sambilan saja .
Golongan orang-orang tua pada masyarakat pedesaan umumnya memegang peranan penting. Orang akan selalu meminta nasihat kepada mereka apabila ada kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Nimpoeno (1992) menyatakan bahwa di daerah pedesaan kekuasaan-kekuasaan pada umumnya terpusat pada individu seorang kiyai, ajengan, lurah dan sebagainya.
Sumber: http://blog.beswandjarum.com/ariefekasetiawan/2010/02/05/pendidikan-di-mata-masyarakat-perkotaan-dan-pedesaan/
0 komentar:
Posting Komentar