Jakarta - Tidak hanya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) saja yang meningkat pada tahun 2009 lalu. Jumlah kasus kekerasan dalam pacaran pun ikut bertambah dibandingkan tahun 2008. Duh!
"Untuk kekerasan dalam pacaran tidak jauh berbeda dengan kasus kekerasan dalam rumah tangga. Mereka hanya berbeda pada statusnya saja," kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH Apik) Hestu Rahmifanani.
Hal itu dikatakan dia saat menyampaikan "Catatan Akhir Tahun 2009 Perjalanan LBH Apik" di Jakarta Media Center (JMC), Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Rabu (6/1/2009).
Menurut Hestu, selama tahun 2009 kemarin, LBH Apik menerima pengaduan dan pendampingan sebanyak 1.058 kasus, meningkat 205 kasus dari tahun sebelumnya. Kasus itu terbagi menjadi KDRT (657 kasus), pasca perceraian (99 kasus), perdata (92 kasus), dan kekerasan dalam pacaran (56 kasus).
Untuk kasus kekerasan dalam pacaran, jelas Hestu, jumlahnya kembali meningkat setelah turun pada 2008, yakni 12 kasus. Bentuknya antara lain kekasih yang menghilang tanpa kabar setelah berhubungan seksual, pelaku tidak mau dimintai pertanggungjawaban atas kehamilan pasangannya, dan pihak perempuan dijadikan sebagai tumpuan ekonomi.
"Dengan meningkatnya grafik kekerasan dalam pacaran menjadi keprihatinan kita. Untuk masalah ini kita perlu penanganan serius," ucapnya.
Hestu mengatakan, KUHP tidak memberi perlindungan yang cukup untuk kasus-kasus kekerasan dalam pacaran, sebab belum ada pasal-pasal yang mengatur. Akibatnya, korban seringkali terkendala ketika ingin menyelesaikan kasus yang dialaminya melalui proses hukum.
"Korban semakin terkendala ketika kekerasan yang dilaporkan berawal dari hubungan suka sama suka. Akhirnya kasus-kasus kekerasan dalam pacaran yang ditangani LBH Apik tidak satu pun yang diproses hukum. Mereka lebih memilih dengan cara mediasi," terang Hestu.
Untuk itu, LBH Apik melihat perlunya instrumen hukum yang memberikan jaminan kepastian hukum bagi korban, yaitu dengan menginisiasi RUU Kekerasan Seksual yang saat ini telah masuk daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010. LBH Apik juga mendorong kasus-kasus dalam kekerasan berpacaran ini untuk diakomodir dalam RUU KUHP dan RUU KUHAP yang juga telah masuk Prolegnas.
sumber: http://www.detiknews.com/read/2010/01/06/131830/1272653/10/tahun-2009-kasus-kekerasan-dalam-pacaran-meningkat
Kesimpulan:
bahwa kekerasan dalam pacaran sering terjadi karena anak tersebut tertutup dan perlakuan diskriminasi sering terjadi karena rentannya komunikasi antara keluarga, sangat disayangkan sekarang ini banyak terjadi hal demikian karena banyaknya kasus yang dilaporkan ke KPAI makanya sebagai teman,kerabat dan orang tua setidaknya komunikasi antar keluarga dibina dan diterapkan sehingga apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan baik orang tua, teman atau kerabat bisa membantu
0
komentar
Prasangka, Diskriminasi dan Etnosentrisme
1. PERBEDAAN PRASANGKA DAN DISKRIMINASI
Sikap yang negatif terhadap sesuatu, disebut prasangka. Walaupun dapat
kita garis bawahi bahwa prasangka dapat juga dalam dalam pengertian positf.
Tulisan ini lebih banyak membicarakan prasangka dalam dalam pengertian
negatif.Tidak sedikit orang-orang yang mudah berprasangka, namun banyak
juga orang-orang yang lebih sukar untuk berprasangka. Mengapa terjadi
perbedaan cukup menyolok? Tampaknya kepribadian dan intelekgensia, juga
faktor lingkungan cukup berkaitan dengan munculnya prasangka.
Akan menjadi lebih riskan lagi apabila peristiwa itu menjalar lebih luas, sehingga
melibatkan orang-orang di suatu wilayah tertentu, yang diikuti dengan tidakantindakan
kekerasan dan destruktif dengan berakibat mendatangkan kerugian
yang tidak kecil.
Contoh-contoh lain: Prasangka diskriminasi ras yang berkembang di
kawasan Afrika Selatan dan sekitarnya membuat kawasan ini selalu bergolak.
Konflik-konflik antarsuku, antar ras tak dapat dihindarkan. Lebih jauh antara
kelompok minoritas kulit putih dengan kekuasaan dan kekuatan bersenjata
yang lebih tangguh, saling baku hantam dengan kelompok mayoritas orangorang
kulit hitam. Tindak kekerasan di Afrika Selatan jelas-jelas merupakan
manifestasi dari pertentangan sosial yang berlarur-larut.
SEBAB-SEBAB TlMBULNYA PRASANGKA DAN DISKRIMINASI
(a) Berlatar belakang sejarah.
Orang-orang kuli putih di Amerika Serikat berprasangka negatif terhadap
orang-orang Negro, berlatar belakang pada sejarah masa lampau, bahwa
orang-orang kulit putih sebagai tuan dan orang-orang Negro berstatus
sebagai budak. Walaupun reputasi dan prestasi orang-orang Negro dewasa
ini cukup dapat dibanggakan, terutama dalam bidang olah raga, akan
tetapi prasangka terhadap orang-orang Negro sebagai biang keladi
kerusuhan dan keonaran belum sirna sampai dengan generasi-generasi
sekarang ini.
(b) Dilatarbelakangi oleh perkembangan sosio - kultural dan situasional.
Suatu prasangka muncul dan berkembang dari suatu individu terhadap
individu lain, atau terhadap kelompok sosial tertentu manakala terjadi
penurunan status atau terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh
pimpinan Perusahaan terhadap karyawannya.
Pada sisi lain prasangka bisa berkembang lebih jauh, sebagai akibat adanya
jurang pemisah antara kelompok orang-orang kaya dengan golongan
orang-orang miskin.
Harta kekayaan orang-orang kaya baru, diprasangkai bahwa harta-harta
itu didapat dari usaha-usaha yang tidak halal.
Antara lain dari usaha korupsi dan penyalahgunaan wewenang sebagai
pejabat dan lain sebagainya.
DAYA UPAYA UNTUK MENGURANGIIMENGHILANGKAN
PRASANGKA DAN DISKRIMINASI.
a. Perbaikan kondisi sosial ekonomi.
Pemerataan pembangunan dan usaha peningkatan pendapatan bagi
warga negara Indonesia yang masih tergolong di bawah garis
kemiskinan akan mengurangi adanya kesenjangan-kesenjangan sosial
anatar si kaya dan si miskin.
Melalui pelaksanaan program-program pembangunan yang mantap
yang didukung oleh lembaga-Iembaga ekonomi pedesaan seperti
BUUD dan KUD. Juga melalui program
Kredit Candak Kulak(KCK), Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP),
dan dalam sektor pertanian dengan program Intensifikasi
Khusus(Insus), Proyek Perkeb.unan Inti Rakyat(PIR), Juga Proyek
Tebu Rakyat diperkirakan golongan ekonomi lemah lambat laun akan
dapat menikmati usaha-usaha pemerintah dalam perbaikan sektor
perekonomian.
b. Perluasan kesempatan belajar.
Adanya usaha-usaha pemerintah dalam perluasan kesempatan belajar
bagi seluruh warganegara Indonesia, paling tidak dapat mengurangi
prasangka bahwa program pendidikan, terutama pendidikan tinggi
hanya dapat dinikmati oleh kalangan ma~yarakat menengah dan
kalangan atas.
Mengapa '? Untuk mencapai jenjang pendidikan tertentu di perguruan
tinggi memang mahaL disamping itu harus memiliki kemampuan
otak dan modal. Mereka akan selalu tercecar dan tersisih dalam
persaingan memperebutkan bangku sekolah. Masih beruntung bagi
mereka yang memi liki kemampuan otak. Jika dapat mencapai prestasi
tinggi dan dapat dipertahankan secara konsisten, beasiswa yang aneka
ragam itu dapat diraih dan kantongpun tidak akan kering kerontang.
Dengan memberi kesempatan luas untuk mencapai tingkat pendidikan
dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi bagi seluruh warga negara
Indonesia tanpa kecuali, prasangka dan perasaan tidak adil pada sektor
pendidikan cepat atau lambat akan hi lang lenyap.
c. Sikap terbuka dan sikap lapang.
Harus selalu kita sadari bahwa berbagai tantangan yang datang dari
luar ataupun yang datang dari dalam negeri, semuanya akan dapat
merongrong keutuhan negara dan bangsa. Kebhinekaan masyarakat
berikut sejumlah nilai yang melekat, merupakan basis empuk bagi
timbulnya prasangka, diskriminasi, dan keresahan.
2. ETNOSENTRISME
Setiap suku bangsa atau ras tertentu akan memiliki ciri khas kebudayaan,
yang sekaligus menjadi kebanggaan mereka. Suku bangsa, ras tersebut dalam
kehidupan sehari-hari bertingkah laku sejalan dengan norma-norma, nilainilai
yang terkandung dan tersirat dalam kebudayaan tersebut.
Suku bangsa, ras tersebut cenderung menganggap kebudayaan mereka
sebagai salah ssesuatu yang prima, ~iil, logis, sesuai dengan kodrat alam dan
sebaginya. Segala yang berbeda dengan kebudayaan yang mereka miliki,
dipandang sebagai sesuatu yang kurang baik, kurang estetis, bertentangan
dengan kodrat alam dan sebagainya. Hal-hal tersebut di atas dikenal sebagai
ETNOSENTRISME, yaitu suatu kecendrungan yang menganggap nilai-nilai
dan norma-norma kebudayaannya sendiri sebagai suatu yang prima, terbaik,
mutlak, dan dipergunakannya sebagai tolak ukur untuk menilai dan
membedakannya dengan kebudayaan lain.
sumber : http://rizkharizkha.blogspot.com/2010/11/bab-10-prasangka-diskriminasi-dan.html 0 komentar Diposting oleh My blogger di 19.21
Sikap yang negatif terhadap sesuatu, disebut prasangka. Walaupun dapat
kita garis bawahi bahwa prasangka dapat juga dalam dalam pengertian positf.
Tulisan ini lebih banyak membicarakan prasangka dalam dalam pengertian
negatif.Tidak sedikit orang-orang yang mudah berprasangka, namun banyak
juga orang-orang yang lebih sukar untuk berprasangka. Mengapa terjadi
perbedaan cukup menyolok? Tampaknya kepribadian dan intelekgensia, juga
faktor lingkungan cukup berkaitan dengan munculnya prasangka.
Akan menjadi lebih riskan lagi apabila peristiwa itu menjalar lebih luas, sehingga
melibatkan orang-orang di suatu wilayah tertentu, yang diikuti dengan tidakantindakan
kekerasan dan destruktif dengan berakibat mendatangkan kerugian
yang tidak kecil.
Contoh-contoh lain: Prasangka diskriminasi ras yang berkembang di
kawasan Afrika Selatan dan sekitarnya membuat kawasan ini selalu bergolak.
Konflik-konflik antarsuku, antar ras tak dapat dihindarkan. Lebih jauh antara
kelompok minoritas kulit putih dengan kekuasaan dan kekuatan bersenjata
yang lebih tangguh, saling baku hantam dengan kelompok mayoritas orangorang
kulit hitam. Tindak kekerasan di Afrika Selatan jelas-jelas merupakan
manifestasi dari pertentangan sosial yang berlarur-larut.
SEBAB-SEBAB TlMBULNYA PRASANGKA DAN DISKRIMINASI
(a) Berlatar belakang sejarah.
Orang-orang kuli putih di Amerika Serikat berprasangka negatif terhadap
orang-orang Negro, berlatar belakang pada sejarah masa lampau, bahwa
orang-orang kulit putih sebagai tuan dan orang-orang Negro berstatus
sebagai budak. Walaupun reputasi dan prestasi orang-orang Negro dewasa
ini cukup dapat dibanggakan, terutama dalam bidang olah raga, akan
tetapi prasangka terhadap orang-orang Negro sebagai biang keladi
kerusuhan dan keonaran belum sirna sampai dengan generasi-generasi
sekarang ini.
(b) Dilatarbelakangi oleh perkembangan sosio - kultural dan situasional.
Suatu prasangka muncul dan berkembang dari suatu individu terhadap
individu lain, atau terhadap kelompok sosial tertentu manakala terjadi
penurunan status atau terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh
pimpinan Perusahaan terhadap karyawannya.
Pada sisi lain prasangka bisa berkembang lebih jauh, sebagai akibat adanya
jurang pemisah antara kelompok orang-orang kaya dengan golongan
orang-orang miskin.
Harta kekayaan orang-orang kaya baru, diprasangkai bahwa harta-harta
itu didapat dari usaha-usaha yang tidak halal.
Antara lain dari usaha korupsi dan penyalahgunaan wewenang sebagai
pejabat dan lain sebagainya.
DAYA UPAYA UNTUK MENGURANGIIMENGHILANGKAN
PRASANGKA DAN DISKRIMINASI.
a. Perbaikan kondisi sosial ekonomi.
Pemerataan pembangunan dan usaha peningkatan pendapatan bagi
warga negara Indonesia yang masih tergolong di bawah garis
kemiskinan akan mengurangi adanya kesenjangan-kesenjangan sosial
anatar si kaya dan si miskin.
Melalui pelaksanaan program-program pembangunan yang mantap
yang didukung oleh lembaga-Iembaga ekonomi pedesaan seperti
BUUD dan KUD. Juga melalui program
Kredit Candak Kulak(KCK), Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP),
dan dalam sektor pertanian dengan program Intensifikasi
Khusus(Insus), Proyek Perkeb.unan Inti Rakyat(PIR), Juga Proyek
Tebu Rakyat diperkirakan golongan ekonomi lemah lambat laun akan
dapat menikmati usaha-usaha pemerintah dalam perbaikan sektor
perekonomian.
b. Perluasan kesempatan belajar.
Adanya usaha-usaha pemerintah dalam perluasan kesempatan belajar
bagi seluruh warganegara Indonesia, paling tidak dapat mengurangi
prasangka bahwa program pendidikan, terutama pendidikan tinggi
hanya dapat dinikmati oleh kalangan ma~yarakat menengah dan
kalangan atas.
Mengapa '? Untuk mencapai jenjang pendidikan tertentu di perguruan
tinggi memang mahaL disamping itu harus memiliki kemampuan
otak dan modal. Mereka akan selalu tercecar dan tersisih dalam
persaingan memperebutkan bangku sekolah. Masih beruntung bagi
mereka yang memi liki kemampuan otak. Jika dapat mencapai prestasi
tinggi dan dapat dipertahankan secara konsisten, beasiswa yang aneka
ragam itu dapat diraih dan kantongpun tidak akan kering kerontang.
Dengan memberi kesempatan luas untuk mencapai tingkat pendidikan
dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi bagi seluruh warga negara
Indonesia tanpa kecuali, prasangka dan perasaan tidak adil pada sektor
pendidikan cepat atau lambat akan hi lang lenyap.
c. Sikap terbuka dan sikap lapang.
Harus selalu kita sadari bahwa berbagai tantangan yang datang dari
luar ataupun yang datang dari dalam negeri, semuanya akan dapat
merongrong keutuhan negara dan bangsa. Kebhinekaan masyarakat
berikut sejumlah nilai yang melekat, merupakan basis empuk bagi
timbulnya prasangka, diskriminasi, dan keresahan.
2. ETNOSENTRISME
Setiap suku bangsa atau ras tertentu akan memiliki ciri khas kebudayaan,
yang sekaligus menjadi kebanggaan mereka. Suku bangsa, ras tersebut dalam
kehidupan sehari-hari bertingkah laku sejalan dengan norma-norma, nilainilai
yang terkandung dan tersirat dalam kebudayaan tersebut.
Suku bangsa, ras tersebut cenderung menganggap kebudayaan mereka
sebagai salah ssesuatu yang prima, ~iil, logis, sesuai dengan kodrat alam dan
sebaginya. Segala yang berbeda dengan kebudayaan yang mereka miliki,
dipandang sebagai sesuatu yang kurang baik, kurang estetis, bertentangan
dengan kodrat alam dan sebagainya. Hal-hal tersebut di atas dikenal sebagai
ETNOSENTRISME, yaitu suatu kecendrungan yang menganggap nilai-nilai
dan norma-norma kebudayaannya sendiri sebagai suatu yang prima, terbaik,
mutlak, dan dipergunakannya sebagai tolak ukur untuk menilai dan
membedakannya dengan kebudayaan lain.
sumber : http://rizkharizkha.blogspot.com/2010/11/bab-10-prasangka-diskriminasi-dan.html 0 komentar Diposting oleh My blogger di 19.21
Masyarakat perkotaan dan pedesaan
Pendidikan di Mata Masyarakat Perkotaan dan Pedesaan
Pendidikan bukan makanan asing bagi masyarakat. Tingkatan pendidikan formal yang sering terdengar di telinga masyarakat mulai dari playgroup hingga jenjang perguruan tinggi. Tidak hanya pendidikan formal, pendidikan informal seperti modeling, teater, sekolah sepak bola, juga mulai menjamur di masyarakat. Keanekaragaman pendidikan ditawarkan kepada masyarakat, tinggal mana yang tepat untuk masa depan anak-anak.
Pola pikir akan pendidikan antara masyarakat perkotaan dengan pegunungan jelas berbeda. Hal ini diperkuat dengan kondisi geografis antar keduanya. Di perkotaan yang cenderung berada di dataran rendah sedangkan pegunungan umumnya di daerah dataran tinggi. Perbedaan geografis ini berpengaruh terhadap kecenderungan orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang yang lebih tinggi.
Sebagai contoh Kota Salatiga, kota kecil dihimpit dua kota besar di Indonesia, Semarang dan Solo. Salatiga terletak didaerah dataran rendah ditengah Pegunungan Merbabu dan Telomoyo, Jawa Tengah. Mempunyai lebih dari 2 playgroup, 10 taman kanak-kanak, 15 sekolah dasar, 10 sekolah menengah pertama, 3 sekolah menengah atas, 3 sekolah menengah kejuruan, beberapa madrasah tsanawiyah (setingkat dengan smp) dan madrasah aliyah (setingkat sma), 3 perguruan tinggi baik negeri maupun swasta.
Sedangkan di Desa Nogosaren, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang yang secara geografis terletak di daerah dataran tinggi, tepat di bawah pemancar yang ada di puncak Gunung Telomoyo. Desa ini hanya memiliki 1 taman kanak-kanak dan 1 sekolah dasar. Kecamatan Getasan sendiri terdapat kurang lebih 15 Desa.
Melihat deskripsi wilayah dari kedua wilayah yang berbeda di atas tampak terlihat dari segi kuantitas wadah pendidikan. Kecenderungan ini merupakan salah satu penyebab kurangnya minat akan pendidikan di daerah Desa Nogosaren. Penyebab lain juga terlihat dari segi geografis lingkungan tempat tinggal, Desa Nogosaren yang cenderung memiliki topografi curam berlembah sedangkan di Salatiga dengan topografi yang cenderung datar. Kondisi topografi bisa menjadi faktor yang bisa mempengaruhi pendidikan. Untuk menuju Sekolah Dasar Nogosaren, anak-anak harus menempuh perjalanan hampir 3 km dengan kondisi jalan yang curam dan naik turun. Sampai di sekolah anak-anak terlihat lesu dan kelelahan karena menempuh perjalanan cukup jauh dan berliku, sehingga materi pelajaran kurang bisa diserap secara maksimal oleh siswa-siswi. Masyarakat di Desa Nogosaren sendiri rata-rata memiliki riwayat pendidikan SD hingga SMP. Di Dusun Karang Bawang Desa Nogosaren sendiri hanya ada 1 anak yang masih aktif duduk di bangku SMK, dari 8 anak yang seharusnya duduk di bangku sekolah menengah atas, dan ada 1 yang pernah mengalami menjadi mahasiswa namun berhenti dengan alasan ekonomi dan keluarga ( Darno, Kadus Karang Bawang Desa Nogosaren).
Jika dilihat dari mata pencaharian masyarakat Salatiga dan Nogosaren sendiri terdapat suatu perbedaan yang memungkinkan adanya pengaruh terhadap pola pikir masyarakat akan pentingnya pendidikan. Di Salatiga sendiri cenderung memiliki pekerjaan yang beragam, dari wiraswasta, karyawan, pegawai, peternakan, sampai ke pertanian ditekuni masyarakat. Dari sini memperlihatkan arus likuiditas keuangan sangat cepat terjadi. Banyaknya wadah lembaga keuangan seperti bank, koperasi, pegadaian memungkinkan masyarakat untuk melakukan pinjaman berjangka guna memenuhi pendidikan bagi putra-putrinya. Lingkungan juga merupakan salah satu unsur yang tidak bisa dipungkiri terkait dengan pendidikan. Masyarakat kota yang setiap hari melihat kapitalis antar sesama, persaingan dalam memenuhi kebutuhan, sehingga muncul pemikiran untuk menekankan pendidikan sebagai hal utama bagi putra-putrinya.
Lain dengan di Desa Nogosaren, dimana mayoritas mata pencaharian masyarakat adalah peternak sapi perah dan selain itu dengan bertani di ladang. Rata-rata di tiap kepala keluarga memiliki dua sampai enam sapi. Sangat menggiurkan jika setiap panen susu dengan tiga sapi bisa mencapai 30-40 liter per hari, dengan harga 2600 rupiah per liternya (Darno, Kadus Karang Bawang Desa Nogosaren). Sungguh nilai yang tidak sedikit jika diakumulasikan selama satu bulan, hampir 2,5 juta rupiah didapatkan dari hasil penjualan susu tersebut. Nilai yang sebanding dengan masyarakat perkotaan yang kesehariannya sebagai karyawan. Meskipun aspek financial yang mencukupi tidak membuat masyarakat Nogosaren terutama di Dusun Karang Bawang untuk menyekolahkan putra-putrinya ke jenjang yang lebih tinggi. Pemikiran tradisional masih melekat di benak khalayak warga, dimana pendidikan tinggi belum tentu akan membawa dampak positif bagi keluarga toh akhirnya akan kembali juga menjadi peternak sapi perah (Darno, Kadus Karang Bawang Desa Nogosaren).
Solusi
Dalam masyarakat modern, sering dibedakan antara masyarakat pedesaan (rural community) dan masyarakat perkotaan (urban community). Menurut Soekanto (1994), per-bedaan tersebut sebenarnya tidak mempunyai hubungan dengan pengertian masyarakat sederhana, karena dalam masyarakat modern, betapa pun kecilnya suatu desa, pasti ada pengaruh-pengaruh dari kota.
Perbedaan masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan, pada hakekatnya bersifat gradual.
Kita dapat membedakan antara masya-rakat desa dan masyarakat kota yang masing-masing punya karakteristik tersendiri. Masing-masing punya sistem yang mandiri, dengan fungsi-fungsi sosial, struktur serta proses-proses sosial yang sangat berbeda, bahkan kadang-kadang dikatakan “berlawanan” pula. Perbedaan ciri antara kedua sistem tersebut dapat diungkapkan secara singkat menurut Poplin (1972) sebagai berikut:
Masyarakat Pedesaan
1).Perilaku homogen
2).Perilaku yang dilandasi oleh konsep kekeluargaan dan kebersamaan
3).Perilaku yang berorientasi pada tradisi dan status .
4).Isolasi sosial, sehingga statik
5).Kesatuan dan keutuhan kultural
6).Banyak ritual dan nilai-nilai sakral
7). Kolektivisme
Masyarakat Kota:
1). Perilaku heterogen
2).Perilaku yang dilandasi oleh konsep pengandalan diri dan kelembagaan
3).Perilaku yang berorientasi pada rasionalitas dan fungsi
4).Mobilitassosial,sehingga dinamik
5).Kebauran dan diversifikasi kultural
6).Birokrasi fungsional dan nilai-nilaisekular
7).Individualisme
Warga suatu masyarakat pedesaan mempunyai hubungan yang lebih erat dan lebih mendalam ketimbang hubungan mereka dengan warga masyarakat pedesaan lainnya. Sistem kehidupan biasanya berkelompok atas dasar sistem kekeluargaan (Soekanto, 1994). Selanjutnya Pudjiwati (1985), menjelaskan ciri-ciri relasi sosial yang ada di desa itu, adalah pertama-tama, hubungan kekerabatan. Sistem kekerabatan dan kelompok kekerabatan masih memegang peranan penting. Penduduk masyarakat pedesaan pada umumnya hidup dari pertanian, walaupun terlihat adanya tukang kayu, tukang genteng dan bata, tukang membuat gula, akan tetapi inti pekerjaan penduduk adalah pertanian. Pekerjaan-pekerjaan di samping pertanian, hanya merupakan pekerjaan sambilan saja .
Golongan orang-orang tua pada masyarakat pedesaan umumnya memegang peranan penting. Orang akan selalu meminta nasihat kepada mereka apabila ada kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Nimpoeno (1992) menyatakan bahwa di daerah pedesaan kekuasaan-kekuasaan pada umumnya terpusat pada individu seorang kiyai, ajengan, lurah dan sebagainya.
Sumber: http://blog.beswandjarum.com/ariefekasetiawan/2010/02/05/pendidikan-di-mata-masyarakat-perkotaan-dan-pedesaan/ 0 komentar Diposting oleh My blogger di 19.17
Pendidikan bukan makanan asing bagi masyarakat. Tingkatan pendidikan formal yang sering terdengar di telinga masyarakat mulai dari playgroup hingga jenjang perguruan tinggi. Tidak hanya pendidikan formal, pendidikan informal seperti modeling, teater, sekolah sepak bola, juga mulai menjamur di masyarakat. Keanekaragaman pendidikan ditawarkan kepada masyarakat, tinggal mana yang tepat untuk masa depan anak-anak.
Pola pikir akan pendidikan antara masyarakat perkotaan dengan pegunungan jelas berbeda. Hal ini diperkuat dengan kondisi geografis antar keduanya. Di perkotaan yang cenderung berada di dataran rendah sedangkan pegunungan umumnya di daerah dataran tinggi. Perbedaan geografis ini berpengaruh terhadap kecenderungan orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang yang lebih tinggi.
Sebagai contoh Kota Salatiga, kota kecil dihimpit dua kota besar di Indonesia, Semarang dan Solo. Salatiga terletak didaerah dataran rendah ditengah Pegunungan Merbabu dan Telomoyo, Jawa Tengah. Mempunyai lebih dari 2 playgroup, 10 taman kanak-kanak, 15 sekolah dasar, 10 sekolah menengah pertama, 3 sekolah menengah atas, 3 sekolah menengah kejuruan, beberapa madrasah tsanawiyah (setingkat dengan smp) dan madrasah aliyah (setingkat sma), 3 perguruan tinggi baik negeri maupun swasta.
Sedangkan di Desa Nogosaren, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang yang secara geografis terletak di daerah dataran tinggi, tepat di bawah pemancar yang ada di puncak Gunung Telomoyo. Desa ini hanya memiliki 1 taman kanak-kanak dan 1 sekolah dasar. Kecamatan Getasan sendiri terdapat kurang lebih 15 Desa.
Melihat deskripsi wilayah dari kedua wilayah yang berbeda di atas tampak terlihat dari segi kuantitas wadah pendidikan. Kecenderungan ini merupakan salah satu penyebab kurangnya minat akan pendidikan di daerah Desa Nogosaren. Penyebab lain juga terlihat dari segi geografis lingkungan tempat tinggal, Desa Nogosaren yang cenderung memiliki topografi curam berlembah sedangkan di Salatiga dengan topografi yang cenderung datar. Kondisi topografi bisa menjadi faktor yang bisa mempengaruhi pendidikan. Untuk menuju Sekolah Dasar Nogosaren, anak-anak harus menempuh perjalanan hampir 3 km dengan kondisi jalan yang curam dan naik turun. Sampai di sekolah anak-anak terlihat lesu dan kelelahan karena menempuh perjalanan cukup jauh dan berliku, sehingga materi pelajaran kurang bisa diserap secara maksimal oleh siswa-siswi. Masyarakat di Desa Nogosaren sendiri rata-rata memiliki riwayat pendidikan SD hingga SMP. Di Dusun Karang Bawang Desa Nogosaren sendiri hanya ada 1 anak yang masih aktif duduk di bangku SMK, dari 8 anak yang seharusnya duduk di bangku sekolah menengah atas, dan ada 1 yang pernah mengalami menjadi mahasiswa namun berhenti dengan alasan ekonomi dan keluarga ( Darno, Kadus Karang Bawang Desa Nogosaren).
Jika dilihat dari mata pencaharian masyarakat Salatiga dan Nogosaren sendiri terdapat suatu perbedaan yang memungkinkan adanya pengaruh terhadap pola pikir masyarakat akan pentingnya pendidikan. Di Salatiga sendiri cenderung memiliki pekerjaan yang beragam, dari wiraswasta, karyawan, pegawai, peternakan, sampai ke pertanian ditekuni masyarakat. Dari sini memperlihatkan arus likuiditas keuangan sangat cepat terjadi. Banyaknya wadah lembaga keuangan seperti bank, koperasi, pegadaian memungkinkan masyarakat untuk melakukan pinjaman berjangka guna memenuhi pendidikan bagi putra-putrinya. Lingkungan juga merupakan salah satu unsur yang tidak bisa dipungkiri terkait dengan pendidikan. Masyarakat kota yang setiap hari melihat kapitalis antar sesama, persaingan dalam memenuhi kebutuhan, sehingga muncul pemikiran untuk menekankan pendidikan sebagai hal utama bagi putra-putrinya.
Lain dengan di Desa Nogosaren, dimana mayoritas mata pencaharian masyarakat adalah peternak sapi perah dan selain itu dengan bertani di ladang. Rata-rata di tiap kepala keluarga memiliki dua sampai enam sapi. Sangat menggiurkan jika setiap panen susu dengan tiga sapi bisa mencapai 30-40 liter per hari, dengan harga 2600 rupiah per liternya (Darno, Kadus Karang Bawang Desa Nogosaren). Sungguh nilai yang tidak sedikit jika diakumulasikan selama satu bulan, hampir 2,5 juta rupiah didapatkan dari hasil penjualan susu tersebut. Nilai yang sebanding dengan masyarakat perkotaan yang kesehariannya sebagai karyawan. Meskipun aspek financial yang mencukupi tidak membuat masyarakat Nogosaren terutama di Dusun Karang Bawang untuk menyekolahkan putra-putrinya ke jenjang yang lebih tinggi. Pemikiran tradisional masih melekat di benak khalayak warga, dimana pendidikan tinggi belum tentu akan membawa dampak positif bagi keluarga toh akhirnya akan kembali juga menjadi peternak sapi perah (Darno, Kadus Karang Bawang Desa Nogosaren).
Solusi
Dalam masyarakat modern, sering dibedakan antara masyarakat pedesaan (rural community) dan masyarakat perkotaan (urban community). Menurut Soekanto (1994), per-bedaan tersebut sebenarnya tidak mempunyai hubungan dengan pengertian masyarakat sederhana, karena dalam masyarakat modern, betapa pun kecilnya suatu desa, pasti ada pengaruh-pengaruh dari kota.
Perbedaan masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan, pada hakekatnya bersifat gradual.
Kita dapat membedakan antara masya-rakat desa dan masyarakat kota yang masing-masing punya karakteristik tersendiri. Masing-masing punya sistem yang mandiri, dengan fungsi-fungsi sosial, struktur serta proses-proses sosial yang sangat berbeda, bahkan kadang-kadang dikatakan “berlawanan” pula. Perbedaan ciri antara kedua sistem tersebut dapat diungkapkan secara singkat menurut Poplin (1972) sebagai berikut:
Masyarakat Pedesaan
1).Perilaku homogen
2).Perilaku yang dilandasi oleh konsep kekeluargaan dan kebersamaan
3).Perilaku yang berorientasi pada tradisi dan status .
4).Isolasi sosial, sehingga statik
5).Kesatuan dan keutuhan kultural
6).Banyak ritual dan nilai-nilai sakral
7). Kolektivisme
Masyarakat Kota:
1). Perilaku heterogen
2).Perilaku yang dilandasi oleh konsep pengandalan diri dan kelembagaan
3).Perilaku yang berorientasi pada rasionalitas dan fungsi
4).Mobilitassosial,sehingga dinamik
5).Kebauran dan diversifikasi kultural
6).Birokrasi fungsional dan nilai-nilaisekular
7).Individualisme
Warga suatu masyarakat pedesaan mempunyai hubungan yang lebih erat dan lebih mendalam ketimbang hubungan mereka dengan warga masyarakat pedesaan lainnya. Sistem kehidupan biasanya berkelompok atas dasar sistem kekeluargaan (Soekanto, 1994). Selanjutnya Pudjiwati (1985), menjelaskan ciri-ciri relasi sosial yang ada di desa itu, adalah pertama-tama, hubungan kekerabatan. Sistem kekerabatan dan kelompok kekerabatan masih memegang peranan penting. Penduduk masyarakat pedesaan pada umumnya hidup dari pertanian, walaupun terlihat adanya tukang kayu, tukang genteng dan bata, tukang membuat gula, akan tetapi inti pekerjaan penduduk adalah pertanian. Pekerjaan-pekerjaan di samping pertanian, hanya merupakan pekerjaan sambilan saja .
Golongan orang-orang tua pada masyarakat pedesaan umumnya memegang peranan penting. Orang akan selalu meminta nasihat kepada mereka apabila ada kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Nimpoeno (1992) menyatakan bahwa di daerah pedesaan kekuasaan-kekuasaan pada umumnya terpusat pada individu seorang kiyai, ajengan, lurah dan sebagainya.
Sumber: http://blog.beswandjarum.com/ariefekasetiawan/2010/02/05/pendidikan-di-mata-masyarakat-perkotaan-dan-pedesaan/ 0 komentar Diposting oleh My blogger di 19.17
Agama dan Masyarakat
Artikel ini berangkat dari keprihatinan akan perbedaan umat Islam di Indonesia dalam melaksanakan shalat Idul Fitri, yang terjadi hampir setiap tahun.
Tulisan ini juga terdorong oleh upaya Wapres Jusuf Kalla yang sejak tahun lalu menggagas upaya penyatuan Idul Fitri dengan mengumpulkan tokoh-tokoh ormas Islam terkemuka. Perbedaan hari Idul Fitri dan juga Idul Adha sangat penting untuk dicari solusinya. Sebab perbedaan hari Id di antara kaum muslimin akan mengurangi makna syiar Id sebagai hari persatuan dan solidaritas umat Islam, terutama bagi yang berada dalam satu wilayah atau negara. Berbeda dengan awal puasa yang sekalipun terjadi perbedaan hari, tidak terlalu menampakkan perbedaan diantara umat.
Simpul persoalan yang melatari perbedaan waktu shalat Idul Fitri ini adalah metode penetapan awal dan akhir Ramadhan. Yang dikenal ada dua metode: rukyah dan hisab. Yang pertama dipegang oleh kalangan Nahdlatul Ulama (NU), sedang yang kedua dianut oleh Muhammadiyah. Pemerintah berpegang pada metode pertama. Karenanya, terdapat tim yang disebarkan untuk memantau dan melihat munculnya bulan pada tanggal 29 Sya’ban dan 29 Ramadhan. Setelah itu, tim tersebut bersidang untuk menetapkan (itsbat) awal puasa dan Idul Fitri. Adapun metode hisab didasarkan pada perhitungan bintang yang lazim dalam ilmu falaq.
Bertahun-tahun persoalan ini tak kunjung tuntas. Yang maksimal diupayakan adalah saling menghargai pilihan masing-masing, meski sangat pahit menyaksikan pelaksanaan shalat Idul Fitri di hari yang berbeda. Padahal kita hidup di satu negara, bahkan satu wilayah dan kota. Kenyataan ini sangat memprihatinkan, mengingat negara-negara Islam lainnya tidak menghadapi persoalan yang sama. Malaysia misalnya, meski di sana juga terdapat ormas Muhammadiyah, tapi pemerintah dan mayoritas penduduknya menganut metode rukyah.
Jika begitu, apakah tak ada solusi untuk mempersatukan hari Idul Fitri bagi kaum Muslimin di Indonesia? Sebelumnya, patut diingat, bahwa meski Idul Fitri ini bukanlah ibadah wajib, tapi seluruh kaum muslimin bersemangat melaksanakannya. Karenanya, kita dapat memahami mengapa tidak ada satu kelompok pun yang mau mengalah dengan pendapatnya. Karenanya, solusi yang ditawarkan sulit untuk diterima oleh pihak manapun kecuali mempunyai landasan syar’i yang jelas.
Solusi ini berangkat dari hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah dan Tirmidzi, Rasulullah Õá ÇááÉ Úáíå æÓáã bersabda,
"(Waktu) puasa itu adalah ketika kalian berpuasa dan (waktu) Idul Fitri adalah ketika kalian beridul Fitri dan (waktu) Idul Adha adalah ketika kalian Beridul Adha.”
Hadits ini tidak menyinggung sama sekali tentang rukyah atau hisab. Tapi ia menegaskan bahwa puasa dan Idul Fitri dan Idul Adha adalah ibadah yang dilakukan secara berjamaah dan dengan mayoritas umat.
Ulama hadits menjelaskan makna hadits ini. Yakni, puasa dan Idul Fitri dan Idul Adha adalah ibadah secara berjamaah dan dilakukan bersama mayoritas kaum Muslimin. (Shahih Imam Tirmidzi, Silsilah ash-Shahihah, Syaikh al-Albani, I/440 dan al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, II/ 9374-9375)
Karenanya, dalam sejarah Islam disebutkan tradisi kaum Muslimin berpuasa atau berlebaran bukan karena masing-masing perorangan melihat bulan (rukyah) atau dapat menghitung sendiri posisi bulan (hisab). Tapi berdasarkan pengumuman, baik lewat masjid atau dari mulut ke mulut, dan lainnya. Dalam kasus terdapat seorang muslim yang melihat bulan atau meyakini telah masuk puasa, tapi mayoritas umat tidak mengakuinya, maka maksimal yang dibolehkan baginya adalah berpuasa secara diam-diam, agar tidak mengganggu ketentraman dan persatuan umat di wilayah itu.
Yang tak kalah penting, ukuran mayoritas selain ditentukan dengan jumlah yang banyak secara mutlak juga diwakili oleh pemerintah yang berdaulat. Sebab, pada dasarnya pemerintah yang berdaulat adalah tempat bersatunya umat atau simbol persatuan umat yang secara otomatis bermakna mewakili mayoritas umat.
Tujuan yang ingin dicapai oleh hadits ini begitu jelas, yakni menjaga persatuan umat Islam yang merupakan kewajiban atas seluruh kaum muslimin.
Bila landasan hadits tersebut telah dipahami, maka dapat disimpulkan:
Pertama, seyogianya penentuan awal puasa dan Idul Fitri diserahkan kepada pemerintah, selama pemerintah itu berdaulat dan berkompeten dalam menentukan masalah ini, terlepas apapun metode yang dianutnya. Asas kompetensi ini sangat penting, karena ketika asas itu absen, maka tugas itu pindah ke tangan para ulama dan tokoh umat Islam. Makna kompetensi di sini adalah keislaman dan kesungguhan serta memiliki perangkat memadai.
Kedua, setiap Muslim termasuk organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga Islam yang memiliki informasi tentang masalah ini wajib menyampaikan kepada pemerintah dan menyerahkan keputusannya pada mereka.
Ketiga, bagi muslim atau sekelompok orang atau organisasi yang telah meyakini masuknya 1 Ramadhan, tapi pemerintah—dengan alasan yang kuat—tidak menerimanya, maka menurut sebahagian ulama ia boleh berpuasa tetapi dengan diam-diam (sirr). Sementara oleh sebagian ulama lainnya, mengharuskan mereka mengikuti mayoritas umat, dalam hal ini pemerintah, sebagaimana dijelaskan di atas.
Keempat, adapun jika dia meyakini telah masuk Idul Fitri tapi pemerintah tidak memperoleh informasi itu, atau punya alasan kuat untuk tidak menerima informasi itu, maka ia tidak boleh shalat Idul Fitri kecuali bersama-sama dengan mayoritas umat, dalam hal ini mengikuti pemerintah. Walau demikian, dalam kasus ini, sebagian ulama membolehkan atau mewajibkan dia untuk tidak berpuasa lagi pada hari yang ia yakini telah masuk 1 Syawal, tapi ia menunggu Idul Fitri bersama mayoritas umat. Dalilnya adalah hadits shohih yang diriwayatkan oleh imam Nasa-i dimana ada dua orang yang datang menyampaikan kepada Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi wasallam- yang saat itu masih berpuasa-bahwa mereka di malam hari telah melihat bulan sabit Syawwal. Maka Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan para shahabat untuk berbuka lalu sholat idil fitrinya nanti pada keesokan harinya. Imam Syafii berkata bahwa barang siapa yang telah melihat bulan (meyakini telah masuk 1 Syawwal-pen) maka ia wajib berbuka tetapi secara sirr (diam-diam) dan nanti beridil fitri bersama kaum muslimin.
Berbagai ormas Islam perlu menyadari, apabila sebuah perbedaan telah menjadi suatu keniscayaan dan tidak ada titik kompromi, maka perbedaan mungkin dapat dimaklumi. Tapi jika ada titik kompromi yang berlandaskan syar’i dan sejalan dengan ruh dan petunjuk Islam yang mengedepankan persatuan, maka tidak ada alasan untuk terus memelihara perbedaan yang ada.
Selain itu, masalah perbedaan hari Idul Fitri di Indonesia dapat diselesaikan dengan menjadikan pemerintah sebagai pihak yang menentukan hari Idul Fitri bagi segenap kaum muslimin di Indonesia dengan menerima masukan dari tokoh-tokoh ormas Islam, ulama dan kaum Muslimin umumnya.
Tentang metode penetapannya diserahkan pada pemerintah, melalui perangkat dan ahlinya. Jadi kalau sekarang pemerintah menganut metode rukyah maka yang menganut hisab harus berlapang dada. Dan jika suatu saat pemerintah menganut metode hisab, maka yang menganut metode rukyah harus berlapang dada.
Perlu pula digaris bawahi, hal ini bukan bentuk meninggalkan pendapat yang dianut, tapi untuk kepentingan ibadah dan kemaslahatan yang lebih besar. Dalam hal ini kita mendapatkan contoh dari Rosulullah Õá ÇááÉ Úáíå æÓáã dimana beliau meninggalkan sesuatu yang beliau pandang baik tapi bukan wajib demi menjaga keutuhan umatnya. Beliau tidak mengubah bentuk Ka’bah sesuai bentuk aslinya di zaman Ibrahim, padahal beliau ingin dan telah berdaulat di Makkah. Meninggalkan yang sunnah demi yang wajib adalah jelas syariatnya dan telah disepakati oleh kaum muslimin dari masa ke masa. Contoh lain, salah seorang ulama shahabat bernama Ibnu Mas’ud radiyallahu ‘anhu mengkritik khalifah Utsman radiyallahu ‘anhu dalam perkara tidak mengqoshar shalat (dhuhur,ashar dan isya) di Mina dan beliau meyakini itu bertentangan dengan sunnah. Tetapi ketika haji , beliau (Ibnu Mas’ud) radiyallahu ‘anhu meninggalkan pendapatnya untuk tidak mengqoshar sholatnya (mengikuti pendapat sang Khalifah) demi persatuan ummat.
Akhirnya, teriring harapan agar semua pihak yang telah atau akan menentukan hari Id berbeda dengan apa yang ditetapkan oleh pemerintah dapat menyesuaikan dengan apa yang akan ditetapkan oleh pemerintah yang merupakan representasi mayoritas umat Islam. Meski dipersilakan untuk tidak berpuasa pada hari yang telah diyakini sebagai hari Idul Fitri.
Di sisi lain, ormas dan kaum muslimin yang sejalan dengan penetapan pemerintah hendaknya pula tidak membanggakan diri. Sebaliknya, harus menghargai orang-orang atau organisasi yang sekalipun mereka tidak berpuasa lagi, tapi mau menyesuaikan shalat idnya dengan mayoritas umat dalam rangka menjaga persatuan dan ukhuwah Islamiyah.
Semoga Allah senantiasa membimbing dan mencurahkan rahmat dan berkahnya kepada kita semua.
sumber: http://www.wahdah.or.id/wis/index.php?option=com_content&task=view&id=1565&Itemid=147 0 komentar Diposting oleh My blogger di 19.11
Tulisan ini juga terdorong oleh upaya Wapres Jusuf Kalla yang sejak tahun lalu menggagas upaya penyatuan Idul Fitri dengan mengumpulkan tokoh-tokoh ormas Islam terkemuka. Perbedaan hari Idul Fitri dan juga Idul Adha sangat penting untuk dicari solusinya. Sebab perbedaan hari Id di antara kaum muslimin akan mengurangi makna syiar Id sebagai hari persatuan dan solidaritas umat Islam, terutama bagi yang berada dalam satu wilayah atau negara. Berbeda dengan awal puasa yang sekalipun terjadi perbedaan hari, tidak terlalu menampakkan perbedaan diantara umat.
Simpul persoalan yang melatari perbedaan waktu shalat Idul Fitri ini adalah metode penetapan awal dan akhir Ramadhan. Yang dikenal ada dua metode: rukyah dan hisab. Yang pertama dipegang oleh kalangan Nahdlatul Ulama (NU), sedang yang kedua dianut oleh Muhammadiyah. Pemerintah berpegang pada metode pertama. Karenanya, terdapat tim yang disebarkan untuk memantau dan melihat munculnya bulan pada tanggal 29 Sya’ban dan 29 Ramadhan. Setelah itu, tim tersebut bersidang untuk menetapkan (itsbat) awal puasa dan Idul Fitri. Adapun metode hisab didasarkan pada perhitungan bintang yang lazim dalam ilmu falaq.
Bertahun-tahun persoalan ini tak kunjung tuntas. Yang maksimal diupayakan adalah saling menghargai pilihan masing-masing, meski sangat pahit menyaksikan pelaksanaan shalat Idul Fitri di hari yang berbeda. Padahal kita hidup di satu negara, bahkan satu wilayah dan kota. Kenyataan ini sangat memprihatinkan, mengingat negara-negara Islam lainnya tidak menghadapi persoalan yang sama. Malaysia misalnya, meski di sana juga terdapat ormas Muhammadiyah, tapi pemerintah dan mayoritas penduduknya menganut metode rukyah.
Jika begitu, apakah tak ada solusi untuk mempersatukan hari Idul Fitri bagi kaum Muslimin di Indonesia? Sebelumnya, patut diingat, bahwa meski Idul Fitri ini bukanlah ibadah wajib, tapi seluruh kaum muslimin bersemangat melaksanakannya. Karenanya, kita dapat memahami mengapa tidak ada satu kelompok pun yang mau mengalah dengan pendapatnya. Karenanya, solusi yang ditawarkan sulit untuk diterima oleh pihak manapun kecuali mempunyai landasan syar’i yang jelas.
Solusi ini berangkat dari hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah dan Tirmidzi, Rasulullah Õá ÇááÉ Úáíå æÓáã bersabda,
"(Waktu) puasa itu adalah ketika kalian berpuasa dan (waktu) Idul Fitri adalah ketika kalian beridul Fitri dan (waktu) Idul Adha adalah ketika kalian Beridul Adha.”
Hadits ini tidak menyinggung sama sekali tentang rukyah atau hisab. Tapi ia menegaskan bahwa puasa dan Idul Fitri dan Idul Adha adalah ibadah yang dilakukan secara berjamaah dan dengan mayoritas umat.
Ulama hadits menjelaskan makna hadits ini. Yakni, puasa dan Idul Fitri dan Idul Adha adalah ibadah secara berjamaah dan dilakukan bersama mayoritas kaum Muslimin. (Shahih Imam Tirmidzi, Silsilah ash-Shahihah, Syaikh al-Albani, I/440 dan al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, II/ 9374-9375)
Karenanya, dalam sejarah Islam disebutkan tradisi kaum Muslimin berpuasa atau berlebaran bukan karena masing-masing perorangan melihat bulan (rukyah) atau dapat menghitung sendiri posisi bulan (hisab). Tapi berdasarkan pengumuman, baik lewat masjid atau dari mulut ke mulut, dan lainnya. Dalam kasus terdapat seorang muslim yang melihat bulan atau meyakini telah masuk puasa, tapi mayoritas umat tidak mengakuinya, maka maksimal yang dibolehkan baginya adalah berpuasa secara diam-diam, agar tidak mengganggu ketentraman dan persatuan umat di wilayah itu.
Yang tak kalah penting, ukuran mayoritas selain ditentukan dengan jumlah yang banyak secara mutlak juga diwakili oleh pemerintah yang berdaulat. Sebab, pada dasarnya pemerintah yang berdaulat adalah tempat bersatunya umat atau simbol persatuan umat yang secara otomatis bermakna mewakili mayoritas umat.
Tujuan yang ingin dicapai oleh hadits ini begitu jelas, yakni menjaga persatuan umat Islam yang merupakan kewajiban atas seluruh kaum muslimin.
Bila landasan hadits tersebut telah dipahami, maka dapat disimpulkan:
Pertama, seyogianya penentuan awal puasa dan Idul Fitri diserahkan kepada pemerintah, selama pemerintah itu berdaulat dan berkompeten dalam menentukan masalah ini, terlepas apapun metode yang dianutnya. Asas kompetensi ini sangat penting, karena ketika asas itu absen, maka tugas itu pindah ke tangan para ulama dan tokoh umat Islam. Makna kompetensi di sini adalah keislaman dan kesungguhan serta memiliki perangkat memadai.
Kedua, setiap Muslim termasuk organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga Islam yang memiliki informasi tentang masalah ini wajib menyampaikan kepada pemerintah dan menyerahkan keputusannya pada mereka.
Ketiga, bagi muslim atau sekelompok orang atau organisasi yang telah meyakini masuknya 1 Ramadhan, tapi pemerintah—dengan alasan yang kuat—tidak menerimanya, maka menurut sebahagian ulama ia boleh berpuasa tetapi dengan diam-diam (sirr). Sementara oleh sebagian ulama lainnya, mengharuskan mereka mengikuti mayoritas umat, dalam hal ini pemerintah, sebagaimana dijelaskan di atas.
Keempat, adapun jika dia meyakini telah masuk Idul Fitri tapi pemerintah tidak memperoleh informasi itu, atau punya alasan kuat untuk tidak menerima informasi itu, maka ia tidak boleh shalat Idul Fitri kecuali bersama-sama dengan mayoritas umat, dalam hal ini mengikuti pemerintah. Walau demikian, dalam kasus ini, sebagian ulama membolehkan atau mewajibkan dia untuk tidak berpuasa lagi pada hari yang ia yakini telah masuk 1 Syawal, tapi ia menunggu Idul Fitri bersama mayoritas umat. Dalilnya adalah hadits shohih yang diriwayatkan oleh imam Nasa-i dimana ada dua orang yang datang menyampaikan kepada Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi wasallam- yang saat itu masih berpuasa-bahwa mereka di malam hari telah melihat bulan sabit Syawwal. Maka Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan para shahabat untuk berbuka lalu sholat idil fitrinya nanti pada keesokan harinya. Imam Syafii berkata bahwa barang siapa yang telah melihat bulan (meyakini telah masuk 1 Syawwal-pen) maka ia wajib berbuka tetapi secara sirr (diam-diam) dan nanti beridil fitri bersama kaum muslimin.
Berbagai ormas Islam perlu menyadari, apabila sebuah perbedaan telah menjadi suatu keniscayaan dan tidak ada titik kompromi, maka perbedaan mungkin dapat dimaklumi. Tapi jika ada titik kompromi yang berlandaskan syar’i dan sejalan dengan ruh dan petunjuk Islam yang mengedepankan persatuan, maka tidak ada alasan untuk terus memelihara perbedaan yang ada.
Selain itu, masalah perbedaan hari Idul Fitri di Indonesia dapat diselesaikan dengan menjadikan pemerintah sebagai pihak yang menentukan hari Idul Fitri bagi segenap kaum muslimin di Indonesia dengan menerima masukan dari tokoh-tokoh ormas Islam, ulama dan kaum Muslimin umumnya.
Tentang metode penetapannya diserahkan pada pemerintah, melalui perangkat dan ahlinya. Jadi kalau sekarang pemerintah menganut metode rukyah maka yang menganut hisab harus berlapang dada. Dan jika suatu saat pemerintah menganut metode hisab, maka yang menganut metode rukyah harus berlapang dada.
Perlu pula digaris bawahi, hal ini bukan bentuk meninggalkan pendapat yang dianut, tapi untuk kepentingan ibadah dan kemaslahatan yang lebih besar. Dalam hal ini kita mendapatkan contoh dari Rosulullah Õá ÇááÉ Úáíå æÓáã dimana beliau meninggalkan sesuatu yang beliau pandang baik tapi bukan wajib demi menjaga keutuhan umatnya. Beliau tidak mengubah bentuk Ka’bah sesuai bentuk aslinya di zaman Ibrahim, padahal beliau ingin dan telah berdaulat di Makkah. Meninggalkan yang sunnah demi yang wajib adalah jelas syariatnya dan telah disepakati oleh kaum muslimin dari masa ke masa. Contoh lain, salah seorang ulama shahabat bernama Ibnu Mas’ud radiyallahu ‘anhu mengkritik khalifah Utsman radiyallahu ‘anhu dalam perkara tidak mengqoshar shalat (dhuhur,ashar dan isya) di Mina dan beliau meyakini itu bertentangan dengan sunnah. Tetapi ketika haji , beliau (Ibnu Mas’ud) radiyallahu ‘anhu meninggalkan pendapatnya untuk tidak mengqoshar sholatnya (mengikuti pendapat sang Khalifah) demi persatuan ummat.
Akhirnya, teriring harapan agar semua pihak yang telah atau akan menentukan hari Id berbeda dengan apa yang ditetapkan oleh pemerintah dapat menyesuaikan dengan apa yang akan ditetapkan oleh pemerintah yang merupakan representasi mayoritas umat Islam. Meski dipersilakan untuk tidak berpuasa pada hari yang telah diyakini sebagai hari Idul Fitri.
Di sisi lain, ormas dan kaum muslimin yang sejalan dengan penetapan pemerintah hendaknya pula tidak membanggakan diri. Sebaliknya, harus menghargai orang-orang atau organisasi yang sekalipun mereka tidak berpuasa lagi, tapi mau menyesuaikan shalat idnya dengan mayoritas umat dalam rangka menjaga persatuan dan ukhuwah Islamiyah.
Semoga Allah senantiasa membimbing dan mencurahkan rahmat dan berkahnya kepada kita semua.
sumber: http://www.wahdah.or.id/wis/index.php?option=com_content&task=view&id=1565&Itemid=147 0 komentar Diposting oleh My blogger di 19.11
Pelapisan Sosial dan persamaan derajat
Hati-hati Memanggil Orang Bugis dengan “Daeng”
ULAH anggota Pansus Angket Skandal Century dari Partai Demokrat Ruhut Sitompul yang memanggil Pak Jusuf Kalla dengan sebutan “Daeng” boleh jadi bermaksud baik atau sebagai penghormatan. Namun bagi orang Bugis, tidak selamanya penyebutan kata “Daeng” itu dapat diterima baik. Buktinya, beberapa anggota Pansus lain yang kebetulan berdarah Bugis seperti Faisal Akbar dan Andi Rahmat merasa tersinggung dan keberatan. Juga sekelompok mahasiswa di Makassar melakukan aksi demo mengutuk ulah Ruhut Poltak sitompul tersebut. Apa, sih, makna “Daeng” yang sesungguhnya?
Sebelum saya menguraikan masalah ini mungkin saya perlu menguraikan latarbelakang pengetahuan saya mengenai hal ini. Saya memahami sedikit karena kebetulan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai adat istiadat dan budaya Bugis. Saya berasal dari Bone, sama dengan Pak JK. Sedangkan Bone adalah salah satu dari tiga kerajaan utama di Sulawesi Selatan, bersama Gowa dan Luwu. Di Bone, kebetulan saya pernah menangani sanggar budaya “Saoraja” (Istana). Sedangkan di Luwu, kebetulan pula saya menikah dengan cucu Raja Luwu Andi Djemma yang pahlawan nasional itu, dan pernah menjadi sekretaris pribadi Datu (Raja) Luwu ketika mertua saya Andi Achmad Opu To Addi Luwu (almarhum) memangku jabatan sebagai Datu Luwu tahun 1994-2002.
Yang saya ketahui, masyarakat Bugis agak ketat memegang adat yang berlaku, utamanya dalam hal perlapisan sosial. Pelapisan sosial masyarakat yang tajam merupakan suatu ciri khas bagi masyarakat Bugis. Sejak masa pra Islam masyarakat Bugis mudah mengenal stratifikasi sosial. Di saat terbentuknya kerajaan dan pada saat yang sama tumbuh dan berkembang secara tajam stratifikasi sosial dalam masyarakat. Startifikasi sosial ini mengakibatkan munculnya jarak sosial antara golongan atas dengan golongan bawah.
Dalam suku Bugis jaman dulu dikenal 3 strata sosial atau kasta. Kasta tertinggi adalah Ana’ Arung (bangsawan) yang punya beberapa sub kasta lagi. Kasta berikutnya adalah To Maradeka atau orang merdeka (orang kebanyakan). Kasta terendah adalah kasta Ata atau budak. Hanya orang-orang yang berkasta Ana’ Arung dan To Maradeka yang berhak memberikan nama gelar pada keturunannya. Sementara kasta Ata tidak berhak untuk menggunakan nama gelar. Bagi bangsawan Bugis, gelarannya adalah “Andi“, sedangkan bagi To Maradeka bergelar Daeng.
Namun dalam perkembangannya, paggilan “Daeng” saat ini memiliki makna yang beragam. Bisa berarti kakak, bisa pula bermakna kelas sosial. Namun demikian penggunaannya harus berhati-hati. Apalagi saat ini, penggunaan kata Daeng untuk memanggil seseorang sering ditujukan untuk masyarakat dengan kelas sosial tertentu. Misalnya, daeng becak (penarik becak), daeng sopir pete-pete (sopir angkot), daeng kuli bangunan dan lain sebagainya.
Saya juga pernah mengalami seperti Pak JK. Suatu ketika ada seseorang yang memanggil saya dengan sebutan daeng. Saya sih tak mempersoalkan. Saya anggap itu wajar, apalagi yang memanggil itu usianya lebih muda dari saya. Tapi apa lacur, ternyata ada beberapa orang keluarga yang merasa tersinggung. Ia tidak menerima baik. Dan tanpa sepengetahuan saya, si keluarga tadi mendamprat orang tersebut, bahkan mempertanyakan asal-usulnya segala. Katanya, ia dianggap tidak pantas memanggil Daeng.
Bagi saya, hal seperti ini sebenarnya tak perlu terjadi. Namun bagi keluarga hal ini tidak bisa dibiarkan. Mereka bilang kalau tidak ingin mengikuti aturan adat gunakan saja panggilan umum, misalnya “Pak”, jangan “Daeng”. Akhirnya saya terpaksa mahfum walau hati saya sebenarnya tidak menerima dengan alasan persamaan derajat manusia. Begitulah realitanya sampai hari ini. Sebagian masyarakat Bugis masih memegang teguh adat istiadatnya termasuk berkaitan soal strata sosial ini.
Di Sulawesi Selatan, khususnya penghormatan kepada tokoh Bugis termasuk di dalamnya bangsawan biasanya dilakukan dengan menggunakan kata panggilan “Puang”, bukan “Daeng”. Ini secara umum. Jadi hati-hatilah memanggil orang Bugis dengan sebutan “Daeng”.
Solusi
Arti "Daeng" dalam kebudaayaan bugis
kota Daeng, siapa yang tidak kenal julukan ini. Julukan ini disematkan pada orang makassar.
Ibukota sulawesi selatan dan sekaligus sebagai pintu gerbang Indonesia bagian timur.
Namun saya yakin masih banyak yang belum kenal tentang makna Daeng.
Pada dasarnya dulu di makassar terdiri atas 4 strata sosial yaitu :
1. Kare : Ulama atau Tokoh Religi.
2. Karaeng : Raja atau Bangsawan.
3. Daeng : Kalangan pengusaha
4. Ata : Budak
Oleh sebab itu lebih baik kita memanggil seseorang dengan sebutan nama yang sebenarnya saja, tanpa perlu kita memanggil nama seseorang dengan sebutan atau isltilah-istilah lain yang dapat menyinggung perasaan orang lain.
Sumber
http://budayaindonesia.pekeng.com/2010/01/hati-hati-memanggil-orang-bugis-dengan.html 0 komentar Diposting oleh My blogger di 19.05
ULAH anggota Pansus Angket Skandal Century dari Partai Demokrat Ruhut Sitompul yang memanggil Pak Jusuf Kalla dengan sebutan “Daeng” boleh jadi bermaksud baik atau sebagai penghormatan. Namun bagi orang Bugis, tidak selamanya penyebutan kata “Daeng” itu dapat diterima baik. Buktinya, beberapa anggota Pansus lain yang kebetulan berdarah Bugis seperti Faisal Akbar dan Andi Rahmat merasa tersinggung dan keberatan. Juga sekelompok mahasiswa di Makassar melakukan aksi demo mengutuk ulah Ruhut Poltak sitompul tersebut. Apa, sih, makna “Daeng” yang sesungguhnya?
Sebelum saya menguraikan masalah ini mungkin saya perlu menguraikan latarbelakang pengetahuan saya mengenai hal ini. Saya memahami sedikit karena kebetulan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai adat istiadat dan budaya Bugis. Saya berasal dari Bone, sama dengan Pak JK. Sedangkan Bone adalah salah satu dari tiga kerajaan utama di Sulawesi Selatan, bersama Gowa dan Luwu. Di Bone, kebetulan saya pernah menangani sanggar budaya “Saoraja” (Istana). Sedangkan di Luwu, kebetulan pula saya menikah dengan cucu Raja Luwu Andi Djemma yang pahlawan nasional itu, dan pernah menjadi sekretaris pribadi Datu (Raja) Luwu ketika mertua saya Andi Achmad Opu To Addi Luwu (almarhum) memangku jabatan sebagai Datu Luwu tahun 1994-2002.
Yang saya ketahui, masyarakat Bugis agak ketat memegang adat yang berlaku, utamanya dalam hal perlapisan sosial. Pelapisan sosial masyarakat yang tajam merupakan suatu ciri khas bagi masyarakat Bugis. Sejak masa pra Islam masyarakat Bugis mudah mengenal stratifikasi sosial. Di saat terbentuknya kerajaan dan pada saat yang sama tumbuh dan berkembang secara tajam stratifikasi sosial dalam masyarakat. Startifikasi sosial ini mengakibatkan munculnya jarak sosial antara golongan atas dengan golongan bawah.
Dalam suku Bugis jaman dulu dikenal 3 strata sosial atau kasta. Kasta tertinggi adalah Ana’ Arung (bangsawan) yang punya beberapa sub kasta lagi. Kasta berikutnya adalah To Maradeka atau orang merdeka (orang kebanyakan). Kasta terendah adalah kasta Ata atau budak. Hanya orang-orang yang berkasta Ana’ Arung dan To Maradeka yang berhak memberikan nama gelar pada keturunannya. Sementara kasta Ata tidak berhak untuk menggunakan nama gelar. Bagi bangsawan Bugis, gelarannya adalah “Andi“, sedangkan bagi To Maradeka bergelar Daeng.
Namun dalam perkembangannya, paggilan “Daeng” saat ini memiliki makna yang beragam. Bisa berarti kakak, bisa pula bermakna kelas sosial. Namun demikian penggunaannya harus berhati-hati. Apalagi saat ini, penggunaan kata Daeng untuk memanggil seseorang sering ditujukan untuk masyarakat dengan kelas sosial tertentu. Misalnya, daeng becak (penarik becak), daeng sopir pete-pete (sopir angkot), daeng kuli bangunan dan lain sebagainya.
Saya juga pernah mengalami seperti Pak JK. Suatu ketika ada seseorang yang memanggil saya dengan sebutan daeng. Saya sih tak mempersoalkan. Saya anggap itu wajar, apalagi yang memanggil itu usianya lebih muda dari saya. Tapi apa lacur, ternyata ada beberapa orang keluarga yang merasa tersinggung. Ia tidak menerima baik. Dan tanpa sepengetahuan saya, si keluarga tadi mendamprat orang tersebut, bahkan mempertanyakan asal-usulnya segala. Katanya, ia dianggap tidak pantas memanggil Daeng.
Bagi saya, hal seperti ini sebenarnya tak perlu terjadi. Namun bagi keluarga hal ini tidak bisa dibiarkan. Mereka bilang kalau tidak ingin mengikuti aturan adat gunakan saja panggilan umum, misalnya “Pak”, jangan “Daeng”. Akhirnya saya terpaksa mahfum walau hati saya sebenarnya tidak menerima dengan alasan persamaan derajat manusia. Begitulah realitanya sampai hari ini. Sebagian masyarakat Bugis masih memegang teguh adat istiadatnya termasuk berkaitan soal strata sosial ini.
Di Sulawesi Selatan, khususnya penghormatan kepada tokoh Bugis termasuk di dalamnya bangsawan biasanya dilakukan dengan menggunakan kata panggilan “Puang”, bukan “Daeng”. Ini secara umum. Jadi hati-hatilah memanggil orang Bugis dengan sebutan “Daeng”.
Solusi
Arti "Daeng" dalam kebudaayaan bugis
kota Daeng, siapa yang tidak kenal julukan ini. Julukan ini disematkan pada orang makassar.
Ibukota sulawesi selatan dan sekaligus sebagai pintu gerbang Indonesia bagian timur.
Namun saya yakin masih banyak yang belum kenal tentang makna Daeng.
Pada dasarnya dulu di makassar terdiri atas 4 strata sosial yaitu :
1. Kare : Ulama atau Tokoh Religi.
2. Karaeng : Raja atau Bangsawan.
3. Daeng : Kalangan pengusaha
4. Ata : Budak
Oleh sebab itu lebih baik kita memanggil seseorang dengan sebutan nama yang sebenarnya saja, tanpa perlu kita memanggil nama seseorang dengan sebutan atau isltilah-istilah lain yang dapat menyinggung perasaan orang lain.
Sumber
http://budayaindonesia.pekeng.com/2010/01/hati-hati-memanggil-orang-bugis-dengan.html 0 komentar Diposting oleh My blogger di 19.05
Warga negara dan negara
Penghapusan Diskriminasi dalam Berbagai Bentuk
Diskriminasi dalam berbagai bentuk telah merambah ke berbagai bidang kehidupan bangsa dan dianggap sebagai hal yang biasa dan wajar serta tidak menganggap bahwa hal tersebut merupakan suatu bentuk diskriminasi.
Perlakuan diskriminatif tidak disadari oleh subjek yang menerima perlakuan diskriminasi tersebut dan oleh yang memperlakukan tindakan diskriminasi tersebut. Praktik diskriminasi merupakan tindakan pembedaan untuk mendapatkan hak dan pelayanan kepada masyarakat dengan didasarkan warna kulit, golongan, suku, etnis, agama, jenis kelamin, dan sebagainya serta akan menjadi lebih luas cakupannya jika kita mengacu kepada Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Pasal 1 ayat (3) UU tersebut menyatakan bahwa diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan perbedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik, yang berakibat pengangguran, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan, baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan yang lain.
I. Permasalahan yang Dihadapi
Dari segi peraturan perundang-undangan, beberapa peraturan perundang-undangan telah diarahkan untuk menghapuskan kesenjangan dan menghilangkan praktik diskriminasi, antara lain untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan, suku etnis, kelompok rentan, dan kelompok minoritas. Namun, perubahan yang diharapkan belum terwujudkan secara optimal, antara lain disebabkan oleh peraturan perundang-undangan yang ada belum dijadikan acuan dalam melakukan tindakan untuk dijadikan dasar hukum pada proses hukum penanganan kasus atau perkara.
Terkait dengan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, Indonesia yang telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/CEDAW) atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan mempunyai kewajiban untuk melaksanakan dan melaporkan pelaksanaan upaya menghapuskan segala bentuk diskriminasi kepada dunia internasional. Namun, harus diakui bahwa pelaksanaan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan ini masih menghadapi kendala yang tidak kecil. Hal tersebut, antara lain, disebabkan kurangnya koordinasi antarkelembagaan sehingga terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaannya. Selain itu, juga masih ada kelemahan komitmen instansi/lembaga yang terkait sehingga sering mengakibatkan lambatnya upaya penanganan berbagai masalah diskriminasi di Indonesia.
Selain itu, masih sering terjadi bahwa pelayanan kepada masyarakat menjadi kurang dengan alasan bahwa hal itu disebabkan legitimasi dari pernyataan dalam peraturan perundang-undangan belum mengatur ketentuan yang harus dilakukan.
Diskriminasi juga dapat terjadi, antara lain, pada kehidupan masyarakat miskin atau kurang mampu. Akses untuk mendapatkan pelayanan khususnya pelayanan kesehatan, masih sering menimbulkan diskriminasi, terutama kepada golongan masyarakat miskin, dan menimbulkan ketidakadilan. Hal tersebut, antara lain, disebabkan rendahnya kepedulian sosial penyelenggara rumah sakit. Di samping itu, dikarenakan tidak adanya perangkat peraturan perundang-undangan yang mempunyai aturan kekuatan hukum dan sanksi yang tegas bagi rumah sakit yang menolak memberikan pelayanan kesehatan bagi pasien miskin, menyebabkan penolakan dan penahanan rumah sakit terhadap pasien miskin masih sering terjadi.
Sementara itu, kondisi buruh pada umumnya, sebagai kelompok masyarakat rentan lain yang memerlukan perlindungan, masih belum membaik selama 2004. Penghentian hubungan kerja oleh berbagai perusahaan karena alasan efisiensi atau penjualan perusahaan serta pembayaran upah di bawah standar minimum yang ditetapkan Pemerintah berlangsung selama 2004. Keadaan itu menunjukkan tidak terpenuhinya hak atas upah yang adil sesuai dengan prestasi dan yang dapat menjamin kelangsungan kehidupan keluarga mereka.
Selain itu, berbagai kasus buruh migran masih mewarnai kondisi HAM di Indonesia sepanjang 2004. Kasus-kasus tersebut merupakan permasalahan yang berlanjut yang terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Sepanjang 2004 buruh migran Indonesia mengalami berbagai masalah, seperti tidak cukup terlindunginya buruh migran perempuan, terjadinya perdagangan perempuan, perlakuan terhadap buruh yang tidak berdokumen yang sah, pengiriman buruh migran ke wilayah konflik, kekerasan terhadap buruh migran perempuan, pengenaan hukuman mati, dan deportasi massal dari negara migrasi.
II. Langkah-Langkah Kebijakan dan Hasil-Hasil yang Dicapai
Beberapa ketentuan yang merupakan suatu upaya untuk menghapuskan tindakan diskriminasi, antara lain sebagai berikut.
a) Diskriminasi terhadap perempuan perlu mendapatkan perhatian yang lebih mengingat khusus diskriminasi terhadap perempuan itu, Indonesia telah meratifikasi CEDAW dengan UU No. 7 Tahun 1984. Dalam Konvensi itu disebutkan 12 bentuk diskriminasi terhadap perempuan, yaitu (1) perempuan dan kemiskinan; (2) pendidikan dan pelatihan perempuan; (3) perempuan dan kesehatan; (4) kekerasan terhadap perempuan; (5) perempuan dan konflik bersenjata; (6) perempuan dan ekonomi; (7) perempuan dalam kekuasaan dan pengambilan keputusan; (8) mekanisme kelembagaan untuk kemajuan perempuan; (9) hak asasi perempuan; (10) perempuan dan media; (11) perempuan dan lingkungan hidup; dan (12) anak perempuan.
Berbagai upaya yang telah dilakukan untuk menghapuskan dua belas bentuk diskriminasi tersebut, antara lain yang menyangkut kekerasan terhadap perempuan dengan ditetapkannya UU No. 23 Tahun 2004 pada September 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Di samping itu, dalam mendukung upaya penghapusan diskriminasi tersebut, dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2005 akan dibahas berbagai rancangan undang-undang yang berkaitan dengan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, antara lain RUU tentang Keimigrasian, RUU tentang Kesehatan, RUU tentang Pornografi dan Pornoaksi, dan RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
b) Masih adanya pembedaan penggolongan dalam pencatatan sipil, khususnya bagi orang keturunan Cina, walaupun dalam akta kelahiran telah dicantumkan warga negara Indonesia, masih diperlukan penegasan kembali dengan surat bukti kewarganegaraan RI (SBKRI). Walaupun telah ada Keputusan Presiden tentang tidak diperlukannya SBKRI, dalam praktiknya hal tersebut masih saja terjadi. Keadaan itu pada akhirnya dapat menimbulkan kerancuan karena perlu adanya pembuktian kewarganegaraan terhadap warga negara tetapi khususnya suku etnis Cina, yang telah menjadi warga negara Indonesia, masih perlu surat bukti lain untuk mendukung keberadaannya. Adanya diskriminasi itu menimbulkan ketidakadilan bagi suku/etnik tersebut karena mengalami perbedaan.
c) Dengan diundangkannya UU No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, diharapkan agar aparat atau lembaga yang terkait dengan pelayanan, penempatan, dan pelindungan bagi tenaga kerja Indonesia (TKI) dapat memberikan pelindungan dan pemenuhan HAM bagi buruh pekerja migran di luar negeri.
d) Langkah positif dalam upaya pelindungan buruh migran adalah telah ditandatanganinya Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) antara Indonesia dan Malaysia. Penandatanganan itu mempunyai arti penting bagi upaya pelindungan migran Indonesia di Malaysia mengingat 90 persen buruh migran di Malaysia berasal dari Indonesia.
II. Tindak Lanjut yang Diperlukan
Dalam rangka penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, kelompok rentan, kelompok minoritas, dan masyarakat miskin, perlu ditindaklanjuti, antara lain pembuatan peraturan perundang-undangan yang tidak diskriminasi terhadap perempuan, kelompok rentan, kelompok minoritas serta upaya pemberian pelayanan terutama kepada masyarakat miskin melalui penguatan dukungan, komitmen, dan keinginan yang tegas dari semua pihak terkait.
Sangat penting pula untuk ditindaklanjuti adalah pelaksanaan yang konsisten dan komitmen dari pimpinan pemerintahan terhadap perundang-undangan yang mendukung upaya penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, kelompok rentan, kelompok minoritas, dan masyarakat miskin.
Di samping itu, untuk menjaga dan melaksanakan komitmen Indonesia sebagai konsekuensi meratifikasi CEDAW langkah utama yang perlu ditindaklanjuti adalah melalui sosialisasi dan peningkatan kesadaran hukum terhadap materi peraturan perundang-undangan tidak saja kepada masyarakat, tetapi juga kepada aparat penegak hukum sebagai landasan hukum dan juga persamaan persepsi untuk menangani berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan, kelompok rentan, serta kelompok minoritas. Diharapkan dengan langkah-langkah tersebut akan tercipta hubungan yang sinergis antarinstansi penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan hakim serta instansi terkait yang lain dan masyarakat luas. Di samping sangat penting, hal itu juga untuk memperbaiki mekanisme pelayanan publik kepada masyarakat pada umumnya dan kelompok rentan, kelompok minoritas, dan masyarakat miskin pada khususnya sehingga upaya segala bentuk diskriminasi dapat dihapuskan secara bertahap, tetapi pasti.
Sumber :www.bappenas.go.id/get-file-server/node/3331/+masalah+yang+terjadi+mengenai+Warga+Negara+dan+Negara&hl=id&gl=id&pid=bl&srcid=ADGEEShALqcHTVRKYuQ1-2aXb1i_GBQcknTf3BQKLuBP4_Y4CpSFaJKyYGu1hs64rlyxTsFG_B-eKLE2GRoMcXeaIXT1DVPdgoCNY78lv274P3mEp-bGdDw-7AD-MOTCNTa-O-Q9qo1w&sig=AHIEtbR105FL8lo4Y1eY8joZjsBaVYgHaA 0 komentar Diposting oleh My blogger di 18.56
Diskriminasi dalam berbagai bentuk telah merambah ke berbagai bidang kehidupan bangsa dan dianggap sebagai hal yang biasa dan wajar serta tidak menganggap bahwa hal tersebut merupakan suatu bentuk diskriminasi.
Perlakuan diskriminatif tidak disadari oleh subjek yang menerima perlakuan diskriminasi tersebut dan oleh yang memperlakukan tindakan diskriminasi tersebut. Praktik diskriminasi merupakan tindakan pembedaan untuk mendapatkan hak dan pelayanan kepada masyarakat dengan didasarkan warna kulit, golongan, suku, etnis, agama, jenis kelamin, dan sebagainya serta akan menjadi lebih luas cakupannya jika kita mengacu kepada Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Pasal 1 ayat (3) UU tersebut menyatakan bahwa diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan perbedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik, yang berakibat pengangguran, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan, baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan yang lain.
I. Permasalahan yang Dihadapi
Dari segi peraturan perundang-undangan, beberapa peraturan perundang-undangan telah diarahkan untuk menghapuskan kesenjangan dan menghilangkan praktik diskriminasi, antara lain untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan, suku etnis, kelompok rentan, dan kelompok minoritas. Namun, perubahan yang diharapkan belum terwujudkan secara optimal, antara lain disebabkan oleh peraturan perundang-undangan yang ada belum dijadikan acuan dalam melakukan tindakan untuk dijadikan dasar hukum pada proses hukum penanganan kasus atau perkara.
Terkait dengan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, Indonesia yang telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/CEDAW) atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan mempunyai kewajiban untuk melaksanakan dan melaporkan pelaksanaan upaya menghapuskan segala bentuk diskriminasi kepada dunia internasional. Namun, harus diakui bahwa pelaksanaan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan ini masih menghadapi kendala yang tidak kecil. Hal tersebut, antara lain, disebabkan kurangnya koordinasi antarkelembagaan sehingga terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaannya. Selain itu, juga masih ada kelemahan komitmen instansi/lembaga yang terkait sehingga sering mengakibatkan lambatnya upaya penanganan berbagai masalah diskriminasi di Indonesia.
Selain itu, masih sering terjadi bahwa pelayanan kepada masyarakat menjadi kurang dengan alasan bahwa hal itu disebabkan legitimasi dari pernyataan dalam peraturan perundang-undangan belum mengatur ketentuan yang harus dilakukan.
Diskriminasi juga dapat terjadi, antara lain, pada kehidupan masyarakat miskin atau kurang mampu. Akses untuk mendapatkan pelayanan khususnya pelayanan kesehatan, masih sering menimbulkan diskriminasi, terutama kepada golongan masyarakat miskin, dan menimbulkan ketidakadilan. Hal tersebut, antara lain, disebabkan rendahnya kepedulian sosial penyelenggara rumah sakit. Di samping itu, dikarenakan tidak adanya perangkat peraturan perundang-undangan yang mempunyai aturan kekuatan hukum dan sanksi yang tegas bagi rumah sakit yang menolak memberikan pelayanan kesehatan bagi pasien miskin, menyebabkan penolakan dan penahanan rumah sakit terhadap pasien miskin masih sering terjadi.
Sementara itu, kondisi buruh pada umumnya, sebagai kelompok masyarakat rentan lain yang memerlukan perlindungan, masih belum membaik selama 2004. Penghentian hubungan kerja oleh berbagai perusahaan karena alasan efisiensi atau penjualan perusahaan serta pembayaran upah di bawah standar minimum yang ditetapkan Pemerintah berlangsung selama 2004. Keadaan itu menunjukkan tidak terpenuhinya hak atas upah yang adil sesuai dengan prestasi dan yang dapat menjamin kelangsungan kehidupan keluarga mereka.
Selain itu, berbagai kasus buruh migran masih mewarnai kondisi HAM di Indonesia sepanjang 2004. Kasus-kasus tersebut merupakan permasalahan yang berlanjut yang terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Sepanjang 2004 buruh migran Indonesia mengalami berbagai masalah, seperti tidak cukup terlindunginya buruh migran perempuan, terjadinya perdagangan perempuan, perlakuan terhadap buruh yang tidak berdokumen yang sah, pengiriman buruh migran ke wilayah konflik, kekerasan terhadap buruh migran perempuan, pengenaan hukuman mati, dan deportasi massal dari negara migrasi.
II. Langkah-Langkah Kebijakan dan Hasil-Hasil yang Dicapai
Beberapa ketentuan yang merupakan suatu upaya untuk menghapuskan tindakan diskriminasi, antara lain sebagai berikut.
a) Diskriminasi terhadap perempuan perlu mendapatkan perhatian yang lebih mengingat khusus diskriminasi terhadap perempuan itu, Indonesia telah meratifikasi CEDAW dengan UU No. 7 Tahun 1984. Dalam Konvensi itu disebutkan 12 bentuk diskriminasi terhadap perempuan, yaitu (1) perempuan dan kemiskinan; (2) pendidikan dan pelatihan perempuan; (3) perempuan dan kesehatan; (4) kekerasan terhadap perempuan; (5) perempuan dan konflik bersenjata; (6) perempuan dan ekonomi; (7) perempuan dalam kekuasaan dan pengambilan keputusan; (8) mekanisme kelembagaan untuk kemajuan perempuan; (9) hak asasi perempuan; (10) perempuan dan media; (11) perempuan dan lingkungan hidup; dan (12) anak perempuan.
Berbagai upaya yang telah dilakukan untuk menghapuskan dua belas bentuk diskriminasi tersebut, antara lain yang menyangkut kekerasan terhadap perempuan dengan ditetapkannya UU No. 23 Tahun 2004 pada September 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Di samping itu, dalam mendukung upaya penghapusan diskriminasi tersebut, dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2005 akan dibahas berbagai rancangan undang-undang yang berkaitan dengan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, antara lain RUU tentang Keimigrasian, RUU tentang Kesehatan, RUU tentang Pornografi dan Pornoaksi, dan RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
b) Masih adanya pembedaan penggolongan dalam pencatatan sipil, khususnya bagi orang keturunan Cina, walaupun dalam akta kelahiran telah dicantumkan warga negara Indonesia, masih diperlukan penegasan kembali dengan surat bukti kewarganegaraan RI (SBKRI). Walaupun telah ada Keputusan Presiden tentang tidak diperlukannya SBKRI, dalam praktiknya hal tersebut masih saja terjadi. Keadaan itu pada akhirnya dapat menimbulkan kerancuan karena perlu adanya pembuktian kewarganegaraan terhadap warga negara tetapi khususnya suku etnis Cina, yang telah menjadi warga negara Indonesia, masih perlu surat bukti lain untuk mendukung keberadaannya. Adanya diskriminasi itu menimbulkan ketidakadilan bagi suku/etnik tersebut karena mengalami perbedaan.
c) Dengan diundangkannya UU No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, diharapkan agar aparat atau lembaga yang terkait dengan pelayanan, penempatan, dan pelindungan bagi tenaga kerja Indonesia (TKI) dapat memberikan pelindungan dan pemenuhan HAM bagi buruh pekerja migran di luar negeri.
d) Langkah positif dalam upaya pelindungan buruh migran adalah telah ditandatanganinya Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) antara Indonesia dan Malaysia. Penandatanganan itu mempunyai arti penting bagi upaya pelindungan migran Indonesia di Malaysia mengingat 90 persen buruh migran di Malaysia berasal dari Indonesia.
II. Tindak Lanjut yang Diperlukan
Dalam rangka penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, kelompok rentan, kelompok minoritas, dan masyarakat miskin, perlu ditindaklanjuti, antara lain pembuatan peraturan perundang-undangan yang tidak diskriminasi terhadap perempuan, kelompok rentan, kelompok minoritas serta upaya pemberian pelayanan terutama kepada masyarakat miskin melalui penguatan dukungan, komitmen, dan keinginan yang tegas dari semua pihak terkait.
Sangat penting pula untuk ditindaklanjuti adalah pelaksanaan yang konsisten dan komitmen dari pimpinan pemerintahan terhadap perundang-undangan yang mendukung upaya penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, kelompok rentan, kelompok minoritas, dan masyarakat miskin.
Di samping itu, untuk menjaga dan melaksanakan komitmen Indonesia sebagai konsekuensi meratifikasi CEDAW langkah utama yang perlu ditindaklanjuti adalah melalui sosialisasi dan peningkatan kesadaran hukum terhadap materi peraturan perundang-undangan tidak saja kepada masyarakat, tetapi juga kepada aparat penegak hukum sebagai landasan hukum dan juga persamaan persepsi untuk menangani berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan, kelompok rentan, serta kelompok minoritas. Diharapkan dengan langkah-langkah tersebut akan tercipta hubungan yang sinergis antarinstansi penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan hakim serta instansi terkait yang lain dan masyarakat luas. Di samping sangat penting, hal itu juga untuk memperbaiki mekanisme pelayanan publik kepada masyarakat pada umumnya dan kelompok rentan, kelompok minoritas, dan masyarakat miskin pada khususnya sehingga upaya segala bentuk diskriminasi dapat dihapuskan secara bertahap, tetapi pasti.
Sumber :www.bappenas.go.id/get-file-server/node/3331/+masalah+yang+terjadi+mengenai+Warga+Negara+dan+Negara&hl=id&gl=id&pid=bl&srcid=ADGEEShALqcHTVRKYuQ1-2aXb1i_GBQcknTf3BQKLuBP4_Y4CpSFaJKyYGu1hs64rlyxTsFG_B-eKLE2GRoMcXeaIXT1DVPdgoCNY78lv274P3mEp-bGdDw-7AD-MOTCNTa-O-Q9qo1w&sig=AHIEtbR105FL8lo4Y1eY8joZjsBaVYgHaA 0 komentar Diposting oleh My blogger di 18.56
Individu, Keluarga dan Masyarakat
Manusia pada dasarnya adalah mahluk yang hidup dalam kelompok dan mempunyai organisme yang terbatas di banding jenis mahluk lain ciptaan Tuhan. Untuk mengatasi keterbatasan kemampuan organisasinya itu, menusia mengembangkan sistem-sistem dalam hidupnya melalui kemampuan akalnya seperti sistem mata pencaharian, sistem perlengkapan hidup dan lain-lain. Dalam kehidupannya sejak lahir manusia itu telah mengenal dan berhubungan dengan manusia lainnya. Seandainya manusia itu hidup sendiri, misalnya dalam sebuah ruangan tertutup tanpa berhubungan dengan manusia lainnya, maka jelas jiwanya akan terganggu.
Naluri manusia untuk selalu hidup dan berhubungan dengan orang lain disebut “gregariousness” dan oleh karena itu manusia disebut mahluk sosial. Dengan adanya naluri ini, manusia mengembangkan pengetahuannya untuk mengatasi kehidupannya dan memberi makna kepada kehidupannya, sehingga timbul apa yang kita kenal sebagai kebudayaan yaitu sistem terintegrasi dari perilaku manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Dengan demikian manusia dikenal sebagai mahluk yang berbudaya karena berfungsi sebagai pembentuk kebudayaan, sekaligus apat berperan karena didorong oleh hasrat atau keinginan yang ada dalam diri manusia yaitu :
1. menyatu dengan manusia lain yang berbeda disekelilingnya
2. menyatu dengan suasana dalam sekelilingnya
Kesemua itu dapat terlihat dari reaksi yang diberikan manusia terhadap alam yang kadang kejam dan ramah kepada mereka. Manusia itu pada hakekatnya adalah mahluk sosial, tidak dapat hidup menyendiri. Ia merupakan “Soon Politikon” , manusia itu merupakan mahluk yang hidup bergaul, berinteraksi. Perkembangan dari kondisi ini menimbulkan kesatuan-kesatuan manusia, kelompok-kelompok sosial yang berupa keluarga, dan masyarakat. Maka terjadilah suatu sistem yang dikenal sebagai sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial yang mengatur kehidupan mereka, memenuhi kebutuhan hidupnya.
Maka dari itu sangat lah penting peranan dari orang tua untuk membuat sebuah karakter individu yang baik. penulis mempunyai prinsip hidup seperti "tidak perlu merubah dunia ini, dan tidak perlu merubah negeri ini, dan tidak penting juga untuk merubah keluarga, akan tetapi rubah lah segala sesuatu dari diri kita sendiri maka dari perubahan yang kecil tersebut akan dapat merubah keluarga kita, dan selanjutnya akan merubah negeri ini, dan yang pasti merubah negeri ini.
Sumber: http://wasnudin.blogdetik.com/2010/10/22/individu-keluarga-dan-masyarakat/ 0 komentar Diposting oleh My blogger di 18.42
Naluri manusia untuk selalu hidup dan berhubungan dengan orang lain disebut “gregariousness” dan oleh karena itu manusia disebut mahluk sosial. Dengan adanya naluri ini, manusia mengembangkan pengetahuannya untuk mengatasi kehidupannya dan memberi makna kepada kehidupannya, sehingga timbul apa yang kita kenal sebagai kebudayaan yaitu sistem terintegrasi dari perilaku manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Dengan demikian manusia dikenal sebagai mahluk yang berbudaya karena berfungsi sebagai pembentuk kebudayaan, sekaligus apat berperan karena didorong oleh hasrat atau keinginan yang ada dalam diri manusia yaitu :
1. menyatu dengan manusia lain yang berbeda disekelilingnya
2. menyatu dengan suasana dalam sekelilingnya
Kesemua itu dapat terlihat dari reaksi yang diberikan manusia terhadap alam yang kadang kejam dan ramah kepada mereka. Manusia itu pada hakekatnya adalah mahluk sosial, tidak dapat hidup menyendiri. Ia merupakan “Soon Politikon” , manusia itu merupakan mahluk yang hidup bergaul, berinteraksi. Perkembangan dari kondisi ini menimbulkan kesatuan-kesatuan manusia, kelompok-kelompok sosial yang berupa keluarga, dan masyarakat. Maka terjadilah suatu sistem yang dikenal sebagai sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial yang mengatur kehidupan mereka, memenuhi kebutuhan hidupnya.
Maka dari itu sangat lah penting peranan dari orang tua untuk membuat sebuah karakter individu yang baik. penulis mempunyai prinsip hidup seperti "tidak perlu merubah dunia ini, dan tidak perlu merubah negeri ini, dan tidak penting juga untuk merubah keluarga, akan tetapi rubah lah segala sesuatu dari diri kita sendiri maka dari perubahan yang kecil tersebut akan dapat merubah keluarga kita, dan selanjutnya akan merubah negeri ini, dan yang pasti merubah negeri ini.
Sumber: http://wasnudin.blogdetik.com/2010/10/22/individu-keluarga-dan-masyarakat/ 0 komentar Diposting oleh My blogger di 18.42
Penduduk, Masyarakat Dan Kebudayaan
Penduduk Masyarakat dan Kebudayaan
ANALISA MASALAH
1. Data Umum tentang Biak: demografik dan statistik
Demografik Populasi: 106.554 orang
Bangsa Pribumi:
55.422 laki
51.132 perempuan
(73.163 dewasa, 33.391 anak)
Pendatang:
32% x 106,554 = 34.097 orang
Angka Kematian per tahun: 301
Angka Kelahiran per tahun: 2.254
Kesehatan
2 Rumah Sakit Militer (1 AD, 1 AL)
14 Puskesmas
Akibat Umum Kematian: malaria
Pendidikan
185 Sekolah Dasar dengan 1.500 tenaga pengajar
29 SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) dengan 288 tenaga pengajar
13 SMU (Sekolah Menengah Umum) dengan 299 tenaga pengajar
1 Sekolah Industri Perikanan
1 Sekolah Turisme
1 Akademi Teknik
1 Akademi Administrasi Bisnis
1 Akademi Ekonomi
Tenaga Kerja Pendapatan Daerah pada umumnya diperoleh dari pajak, perikanan dan turisme
Pegawai Negri: 3.613 orang
Angka statistik bulan Januari 2002 menunjukkan jumlah pengangguran sebesar sekitar 11.327 (6.627 laki; 4.700 perempuan)
Anggaran Tahunan Pemda (tahun 2000): Rp 84.803.792.100 (1 US$ is approx. Rp 10.000.00)
Sumber: Kantor Statistik Kantor dan BKKBN, December 2000; Kantor Bupati Biak-Numfor: Kantor Perindustrian dan Perdagangan; Kantor Dinas Pendidikan Dasar dan Menengah.
2. Pendidikan
Pendidikan tidak merupakan prioritas utama pemerintah Indonesia di Papua. Papua telah lama merupakan provinsi yang terlupakan dan hingga kini masih merupakan provinsi paling terkebelakang dalam bidang pembangunan di Indonesia. Untuk itu, tingkat SDM (sumber daya manusia) di Papua sangat rendah.
Walaupun kekayaan alamnya besar, rakyat Papua sulit menikmati keuntungannya. Seluruh hasil kekayaan alam masuk ke Jakarta. Kwalitas pendidikan di Papua sangat rendah, dan ini sama pula di Biak. Otonomi Khusus (otsus) yang ditawarkan sejak 1 Januari seyogianya dapat mempromosikan pemberdayaan SDM bangsa pribumi Papua. Sayangnya, sejarah menunjukkan bahwa Indonesia tidak pernah menindak-lanjuti rencananya dan sebagai konsekwensi, rakyat Papua sangat berhati-hati terhadap setiap rencana pemerintah.
Terlepas dari kenyataan bahwa adanya sekolah (SD, SLTP, SMU dan Sekolah Kejuruan) dengan jumlah yang sangat sedikit, tidak terdapat tenaga pendidik yang berkwalikasi dan tidak adanya keuangan yang memadai untuk membeli buku dan peralatan pendidikan yang sangat dibutuhkan.
Sebagai konsekwensinya, tingkat pengetahuan anak yang menyelesaikan SD (Sekolah Dasar) dan SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) sangat rendah. Karena orang-tua tidak memiliki uang untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah kejuruan maka jumlah siswa putus sekolah semakin meningkat mencapai angka yang memprihatinkan. Sebagai contoh, banyak anak (teristimewa di kampung-kampung) tidak mengenyam pendidikan SD. Hal yang lebih merepotkan lagi adalah bahwa kurang dari separoh jumlah anak tamatan SD tidak dapat membaca dan menulis dengan baik. Lebih lagi, para tenaga pendidik kadang tidak berkwalitas dan tidak termotivasi karena sejumlah alasan, umpamanya gaji yang kadang-kadang tertunda atau sama sekali tidak terbayar (dan sebagai konsekwensi mereka mencari nafkah di lain tempat dan tidak muncul di depan ruang kelas).
Sungguh disayangkan, tidak ada data statistik yang tersedia di kantor pemda Biak. Tabel di bawah ini menunjukkan data yang tersedia di pemda provinsi di Numbay (nama pribumi bagi Jayapura) berdasarkan studi langsung di lapangan.
3. Konflik Etnik
Masyarakat Papua tidak homogen melainkan heterogen (terdiri dari berbagai suku dan ras). Ada sekitar 1 juta pendatang (migran) Indonesia tersebar di seluruh Papua. Konflik antara masyarakat pribumi dan pendatang semakin meningkat walaupun sejauh ini masih dalam bentuk psikhologis.
Hampir tidak lagi terhitung bangsa pribumi, kaum migran mendominasi seluruh sektor kehidupan: secara politik, ekonomis, sosial dan kultural. Ini bisa saja menimbulkan pecahnya kekerasan fisik yang pada gilirannya akan menjadi alasan bagi militer (TNI) untuk secara brutal menindak masyarakat pribumi dalam usahanya untuk membelah kaum pendatang di Papua sekaligus mempertahankan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Angka statistik menunjukkan bahwa 32% dari penduduk Biak adalah kaum migran. Lebih dari itu, saksikanlah sendiri perbandingan personil di dalam pertokoan, bank-bank, perkantoran dan lain-lain di Biak yang menunjukkan bahwa mayoritas personil adalah kaum pendatang (non-pribumi). Diskriminasi dan frustrasi dapat saja menyulut konflik etnis dan pecahnya kekerasan sebagaimana pernah terjadi di Wamena (6 Oktober 2000), Bonggo (September 2001), dimana terjadi bentrokan (clash) yang menimbulkan mengungsinya kaum migran dan memberikan kesempatan bagi TNI untuk melakukan arestasi secara serampangan serta menganiaya masyarakat sipil yang tak berdosa.
4. Pengangguran
Biak memiliki hanya beberapa perusahaan, dari sektor swasta dan negara, dan sulit bagi orang Papua untuk dapat bekerja di perusahaan-perusahaan tersebut. Sebagaiman tersebut di atas, kesempatan kerja di Papua (termasuk Biak) didominasi oleh pendatang (kaum migran) dari Indonesia. Angka pengangguran (pencari kerja) di Biak tahun 2003 berkisar 1.444 orang (tidak termasuk yang belum terdaftar). Ini merupakan angka produktif dari jumlah penduduk Biak yang sekarang berkisar 160.000 jiwa.
Pengangguran di antara masyarakat pribumi Papua mengakibatkan banyak masalah sosial seperti kriminalitas, pemabukan alkohol, pelacuran, pelecahan HAM perempuan, perceraian, pelecehan HAM anak, pencurian, kerja paksa, dll. Source: Cenderawasih Pos RADAR BIAK, 13 Desember 2003
5. Pelecehan Hak Asasi Manusia
Exploitation of natural resources with consequences for environmental destruction; ethnic and tribal differences as possible source for conflict; lack of good administration/rule; military control over the public authorities, incapacity of the NGOs and underdeveloped communities clearly depict the complexity of the existing problems.
There seems to be more space for democratic process in Indonesia, since the fall of the Indonesian dictator, Soeharto (retired general), in 1998. Unfortunately, West Papua and Aceh as richest provinces have worst paths to walk over. Annual reports by Amnesty International, Human Rights Watch, State Department of United States, UN High Commissioner for Human Rights, UN Office for the Co-ordination of Humanitarian Affairs (OCHA) and other HR bodies have regularly revealed gross human rights abuse in West Papua. For Biak in particular, a number of human rights organizations have reported on the Biak massacre of 1998. During the 1 July flag raising (which in fact took place from 1 July up to and including the 5th of July) some 60 demonstrators were killed during a peaceful rally of innocent citizens led by Philip Karma. Eyewitness reports state that victims (including women and children) were forced into an Indonesian marine ship and killed on board, after which their bodies were bagged and thrown into the sea.
6. Perusakan Lingkungan Hidup
While the government of Indonesia does not seem seriously interested in developing education, health care, agriculture, infrastructure and tourism in West Papua, it does back mining, logging and fishing companies to exploit Papuas natural resources. The state and its apparatus (including military) back large logging and mining companies who wish to operate in West Papua. It is not uncommon for military officers and governmental officials to have stocks or shares in those companies. There is no good administration/rule to resolve and protect the nature from further destruction. Land or areas owned by the indigenous people for traditional agriculture, fishing and hunting have been constitutionally claimed as state property by the government. Various reports by different NGOs repeatedly revealed the destruction of the nature by mining, logging and fishing companies. (as reported by Down to Earth, Friends of the Earth, etc.).
As far as Biak is concerned, its population has always been able to provide for food by fishery. Biak has beautiful white beaches and blue seas, its corals are regarded as one of the most beautiful in the world, but this is also under serious threat. Fishermen are increasingly using cyanide and bombs (on a daily basis!) to get a large catch at the same time destroying large coral reefs and the underwater habitat. This ongoing destruction means endangering the very existence of the people.
7. Posisi Ornop
Most of the NGOs in Biak are newly established organizations that have arisen from dissatisfaction with government policy on the issues as described in this chapter. It is necessary to support (both materially and morally) the alternatives and initiatives proposed and taken by the local NGOs to assist disadvantaged people towards the process of "Civil Society Building".
8. Organisasi Kaum Buruh
There is no independent local trade union in Biak, except the state run trade union called Korpri (Korps Pegawai Republik Indonesia). Korpri was established during Soeharto dictatorial regime to support the governmental policies for the benefit of the state and the multinationals. Most members of Korpri also face problems in their own trade union due to corruption, mismanagement, bureaucratic complexity and political abuse of the right to freedom of movement and expression.
Initials efforts have been made by Jayapura-based activists for an independent trade union for West Papua, called the West Papua Interest Association that is led by Karel Waromi and has approximately 20,000 members. Though no official statistics are available to corroborate the information, Biak is said to have approx. 1,000 members. Thus far though, its representation in Biak lacks structure, leaders and organization (its members do not pay contribution).
Workers in Biak are not yet fully aware of the importance of an independent trade union, especially for the workers from the private sector, such as street cleaners, taxi drivers, tailors, shop workers, harbour workers, factory workers, etc. Salary and social securities for these workers are mostly below the minimum and they can even be easily dismissed without any compensation.
9. Solidaritas Internasional
Ornop-ornop di Biak belum mampu mengembangkan jaringan kerja solidaritas internasional yang luas karena anggota-anggotanya belum menguasai bahasa Inggris dengan baik, padahal bahasa Inggris adalah alat (medium) yang sangat dibutuhkan didalam komunikasi internasional. Banyak aktivis di Biak memperlihatkan kurangnya pengetahuan mereka atas program-program computer (word processing skills). Umpamanya SP2 (Solidaritas Perempuan Papua) di Biak, memiliki komunikasi yang tidak gampang dengan beberapa donor di Belanda dan Jerman karena kurangnya pengetahuan mereka atas bahasa Inggris. Ditambah lagi, kurangnya pengetahuan mereka atas penggunaan computer untuk menulis analisa, evaluasi, laporan dan proposal untuk menjaring dukungan masyarakat internasional.
Disini penulis berharap agar provinsi seperti papua dan provinsi-provinsi lain yang masih belum terjamah atau kurangnya perhatian dari pemerintah pusat dapat lebih mendapat perhatian dan dapat berkembang lebih maju seperti provinsi-provinsi lainnya yang dekat dengan pemerintah pusat.
jadi kesimpulannya penduduk masyarakat dan kebudayaan sangat melekat di kehidupan sehari” sebagaimana kita sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan .. dan kita hidup dari kebudayaan kita masing”…
sumber: http://yapikbi.tripod.com/id28.html 0 komentar Diposting oleh My blogger di 18.41
ANALISA MASALAH
1. Data Umum tentang Biak: demografik dan statistik
Demografik Populasi: 106.554 orang
Bangsa Pribumi:
55.422 laki
51.132 perempuan
(73.163 dewasa, 33.391 anak)
Pendatang:
32% x 106,554 = 34.097 orang
Angka Kematian per tahun: 301
Angka Kelahiran per tahun: 2.254
Kesehatan
2 Rumah Sakit Militer (1 AD, 1 AL)
14 Puskesmas
Akibat Umum Kematian: malaria
Pendidikan
185 Sekolah Dasar dengan 1.500 tenaga pengajar
29 SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) dengan 288 tenaga pengajar
13 SMU (Sekolah Menengah Umum) dengan 299 tenaga pengajar
1 Sekolah Industri Perikanan
1 Sekolah Turisme
1 Akademi Teknik
1 Akademi Administrasi Bisnis
1 Akademi Ekonomi
Tenaga Kerja Pendapatan Daerah pada umumnya diperoleh dari pajak, perikanan dan turisme
Pegawai Negri: 3.613 orang
Angka statistik bulan Januari 2002 menunjukkan jumlah pengangguran sebesar sekitar 11.327 (6.627 laki; 4.700 perempuan)
Anggaran Tahunan Pemda (tahun 2000): Rp 84.803.792.100 (1 US$ is approx. Rp 10.000.00)
Sumber: Kantor Statistik Kantor dan BKKBN, December 2000; Kantor Bupati Biak-Numfor: Kantor Perindustrian dan Perdagangan; Kantor Dinas Pendidikan Dasar dan Menengah.
2. Pendidikan
Pendidikan tidak merupakan prioritas utama pemerintah Indonesia di Papua. Papua telah lama merupakan provinsi yang terlupakan dan hingga kini masih merupakan provinsi paling terkebelakang dalam bidang pembangunan di Indonesia. Untuk itu, tingkat SDM (sumber daya manusia) di Papua sangat rendah.
Walaupun kekayaan alamnya besar, rakyat Papua sulit menikmati keuntungannya. Seluruh hasil kekayaan alam masuk ke Jakarta. Kwalitas pendidikan di Papua sangat rendah, dan ini sama pula di Biak. Otonomi Khusus (otsus) yang ditawarkan sejak 1 Januari seyogianya dapat mempromosikan pemberdayaan SDM bangsa pribumi Papua. Sayangnya, sejarah menunjukkan bahwa Indonesia tidak pernah menindak-lanjuti rencananya dan sebagai konsekwensi, rakyat Papua sangat berhati-hati terhadap setiap rencana pemerintah.
Terlepas dari kenyataan bahwa adanya sekolah (SD, SLTP, SMU dan Sekolah Kejuruan) dengan jumlah yang sangat sedikit, tidak terdapat tenaga pendidik yang berkwalikasi dan tidak adanya keuangan yang memadai untuk membeli buku dan peralatan pendidikan yang sangat dibutuhkan.
Sebagai konsekwensinya, tingkat pengetahuan anak yang menyelesaikan SD (Sekolah Dasar) dan SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) sangat rendah. Karena orang-tua tidak memiliki uang untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah kejuruan maka jumlah siswa putus sekolah semakin meningkat mencapai angka yang memprihatinkan. Sebagai contoh, banyak anak (teristimewa di kampung-kampung) tidak mengenyam pendidikan SD. Hal yang lebih merepotkan lagi adalah bahwa kurang dari separoh jumlah anak tamatan SD tidak dapat membaca dan menulis dengan baik. Lebih lagi, para tenaga pendidik kadang tidak berkwalitas dan tidak termotivasi karena sejumlah alasan, umpamanya gaji yang kadang-kadang tertunda atau sama sekali tidak terbayar (dan sebagai konsekwensi mereka mencari nafkah di lain tempat dan tidak muncul di depan ruang kelas).
Sungguh disayangkan, tidak ada data statistik yang tersedia di kantor pemda Biak. Tabel di bawah ini menunjukkan data yang tersedia di pemda provinsi di Numbay (nama pribumi bagi Jayapura) berdasarkan studi langsung di lapangan.
3. Konflik Etnik
Masyarakat Papua tidak homogen melainkan heterogen (terdiri dari berbagai suku dan ras). Ada sekitar 1 juta pendatang (migran) Indonesia tersebar di seluruh Papua. Konflik antara masyarakat pribumi dan pendatang semakin meningkat walaupun sejauh ini masih dalam bentuk psikhologis.
Hampir tidak lagi terhitung bangsa pribumi, kaum migran mendominasi seluruh sektor kehidupan: secara politik, ekonomis, sosial dan kultural. Ini bisa saja menimbulkan pecahnya kekerasan fisik yang pada gilirannya akan menjadi alasan bagi militer (TNI) untuk secara brutal menindak masyarakat pribumi dalam usahanya untuk membelah kaum pendatang di Papua sekaligus mempertahankan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Angka statistik menunjukkan bahwa 32% dari penduduk Biak adalah kaum migran. Lebih dari itu, saksikanlah sendiri perbandingan personil di dalam pertokoan, bank-bank, perkantoran dan lain-lain di Biak yang menunjukkan bahwa mayoritas personil adalah kaum pendatang (non-pribumi). Diskriminasi dan frustrasi dapat saja menyulut konflik etnis dan pecahnya kekerasan sebagaimana pernah terjadi di Wamena (6 Oktober 2000), Bonggo (September 2001), dimana terjadi bentrokan (clash) yang menimbulkan mengungsinya kaum migran dan memberikan kesempatan bagi TNI untuk melakukan arestasi secara serampangan serta menganiaya masyarakat sipil yang tak berdosa.
4. Pengangguran
Biak memiliki hanya beberapa perusahaan, dari sektor swasta dan negara, dan sulit bagi orang Papua untuk dapat bekerja di perusahaan-perusahaan tersebut. Sebagaiman tersebut di atas, kesempatan kerja di Papua (termasuk Biak) didominasi oleh pendatang (kaum migran) dari Indonesia. Angka pengangguran (pencari kerja) di Biak tahun 2003 berkisar 1.444 orang (tidak termasuk yang belum terdaftar). Ini merupakan angka produktif dari jumlah penduduk Biak yang sekarang berkisar 160.000 jiwa.
Pengangguran di antara masyarakat pribumi Papua mengakibatkan banyak masalah sosial seperti kriminalitas, pemabukan alkohol, pelacuran, pelecahan HAM perempuan, perceraian, pelecehan HAM anak, pencurian, kerja paksa, dll. Source: Cenderawasih Pos RADAR BIAK, 13 Desember 2003
5. Pelecehan Hak Asasi Manusia
Exploitation of natural resources with consequences for environmental destruction; ethnic and tribal differences as possible source for conflict; lack of good administration/rule; military control over the public authorities, incapacity of the NGOs and underdeveloped communities clearly depict the complexity of the existing problems.
There seems to be more space for democratic process in Indonesia, since the fall of the Indonesian dictator, Soeharto (retired general), in 1998. Unfortunately, West Papua and Aceh as richest provinces have worst paths to walk over. Annual reports by Amnesty International, Human Rights Watch, State Department of United States, UN High Commissioner for Human Rights, UN Office for the Co-ordination of Humanitarian Affairs (OCHA) and other HR bodies have regularly revealed gross human rights abuse in West Papua. For Biak in particular, a number of human rights organizations have reported on the Biak massacre of 1998. During the 1 July flag raising (which in fact took place from 1 July up to and including the 5th of July) some 60 demonstrators were killed during a peaceful rally of innocent citizens led by Philip Karma. Eyewitness reports state that victims (including women and children) were forced into an Indonesian marine ship and killed on board, after which their bodies were bagged and thrown into the sea.
6. Perusakan Lingkungan Hidup
While the government of Indonesia does not seem seriously interested in developing education, health care, agriculture, infrastructure and tourism in West Papua, it does back mining, logging and fishing companies to exploit Papuas natural resources. The state and its apparatus (including military) back large logging and mining companies who wish to operate in West Papua. It is not uncommon for military officers and governmental officials to have stocks or shares in those companies. There is no good administration/rule to resolve and protect the nature from further destruction. Land or areas owned by the indigenous people for traditional agriculture, fishing and hunting have been constitutionally claimed as state property by the government. Various reports by different NGOs repeatedly revealed the destruction of the nature by mining, logging and fishing companies. (as reported by Down to Earth, Friends of the Earth, etc.).
As far as Biak is concerned, its population has always been able to provide for food by fishery. Biak has beautiful white beaches and blue seas, its corals are regarded as one of the most beautiful in the world, but this is also under serious threat. Fishermen are increasingly using cyanide and bombs (on a daily basis!) to get a large catch at the same time destroying large coral reefs and the underwater habitat. This ongoing destruction means endangering the very existence of the people.
7. Posisi Ornop
Most of the NGOs in Biak are newly established organizations that have arisen from dissatisfaction with government policy on the issues as described in this chapter. It is necessary to support (both materially and morally) the alternatives and initiatives proposed and taken by the local NGOs to assist disadvantaged people towards the process of "Civil Society Building".
8. Organisasi Kaum Buruh
There is no independent local trade union in Biak, except the state run trade union called Korpri (Korps Pegawai Republik Indonesia). Korpri was established during Soeharto dictatorial regime to support the governmental policies for the benefit of the state and the multinationals. Most members of Korpri also face problems in their own trade union due to corruption, mismanagement, bureaucratic complexity and political abuse of the right to freedom of movement and expression.
Initials efforts have been made by Jayapura-based activists for an independent trade union for West Papua, called the West Papua Interest Association that is led by Karel Waromi and has approximately 20,000 members. Though no official statistics are available to corroborate the information, Biak is said to have approx. 1,000 members. Thus far though, its representation in Biak lacks structure, leaders and organization (its members do not pay contribution).
Workers in Biak are not yet fully aware of the importance of an independent trade union, especially for the workers from the private sector, such as street cleaners, taxi drivers, tailors, shop workers, harbour workers, factory workers, etc. Salary and social securities for these workers are mostly below the minimum and they can even be easily dismissed without any compensation.
9. Solidaritas Internasional
Ornop-ornop di Biak belum mampu mengembangkan jaringan kerja solidaritas internasional yang luas karena anggota-anggotanya belum menguasai bahasa Inggris dengan baik, padahal bahasa Inggris adalah alat (medium) yang sangat dibutuhkan didalam komunikasi internasional. Banyak aktivis di Biak memperlihatkan kurangnya pengetahuan mereka atas program-program computer (word processing skills). Umpamanya SP2 (Solidaritas Perempuan Papua) di Biak, memiliki komunikasi yang tidak gampang dengan beberapa donor di Belanda dan Jerman karena kurangnya pengetahuan mereka atas bahasa Inggris. Ditambah lagi, kurangnya pengetahuan mereka atas penggunaan computer untuk menulis analisa, evaluasi, laporan dan proposal untuk menjaring dukungan masyarakat internasional.
Disini penulis berharap agar provinsi seperti papua dan provinsi-provinsi lain yang masih belum terjamah atau kurangnya perhatian dari pemerintah pusat dapat lebih mendapat perhatian dan dapat berkembang lebih maju seperti provinsi-provinsi lainnya yang dekat dengan pemerintah pusat.
jadi kesimpulannya penduduk masyarakat dan kebudayaan sangat melekat di kehidupan sehari” sebagaimana kita sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan .. dan kita hidup dari kebudayaan kita masing”…
sumber: http://yapikbi.tripod.com/id28.html 0 komentar Diposting oleh My blogger di 18.41
Langganan:
Postingan (Atom)